suasana masyarakat
sedang melakukan kegiatan tenun atau nyesek di Desa sukarara Loteng
Lombok
tengah ( Post kota NTB) – Desa Sukarara merupakan salah satu desa wisata yang
ada di Lombok Tengah yang sangat terkenal. Tidak hanya bagi wisatawan lokal
saja, tetapi wisata tenun Sukarara ini sudah mendunia.
Desa ini pada dasarnya terkenal karena hasil tenun
memiliki ciri khas tersendiri dan merupakan hasil karya masyarakat setempat.
Bahkan, rata-rata profesi masyarakatnya adalah menenun atau penyesek.
Mengunjungi Desa Sukarara, wisatawan akan menemukan
deretan warga yang beraktivitas nyesek. Hebatnya, aktivitas ini
tidak hanya dilakukan orang tua saja, tetapi juga oleh anak- anak dan remaja,
terutama para gadis cantik yang begitu mahir memainkan alat nyesek yang masih
teradisioal itu.
Pelestarian budaya ini terbilang unik. Setiap orang tua
diwajibkan mengajarkan anak- anak gadisnya menenun sedari usia dini. Bahkan
menurut penuturan sejumlah warga, gadis di Desa Sukarara tidak diperbolehkan
menikah jika tidak bisa menenun.
“Memang kami diajarkan seperti itu dan kami disuruh
mengajarkan ke anak kami juga,” ungkap Oak Jiddah, salah satu penenun dari
Belong Lauq Sukarara.
Warga setempat meyakini, aktivitas dan proses menenun
dengan alat teradisional itu sebagai simbol keberlangsungan hidup dan bekal
kehidupan di dunia. Sehingga wajar, jika para orang tua mengajarkan anaknya dan
memberi hadiah alat nyesek pada saat mereka menikah.
Tujuannya tidak lain agar si anak yang sudah memiliki
keluarga baru bisa hidup mandiri dan bisa melanjutkan hidup mereka.
Kembali ke persoalan pariwisata, tenun Sukarara saat ini
menjadi salah satu daya tarik pariwisata di Lombok Tengah pada khususnya dan NTB
pada umumnya.
Perekonomian masyarakat setempat juga menjadi semakin
baik. Hal itu bisa dilihat dari geliat pariwisata yang ada saat ini tidak
kendor meski harga kain songket relatif mahal.
Untuk satu kain songket saja, bisa dijual hingga Rp.
800.000 hingga jutaan rupiah. Tak heran jika masyarakat setempat menjadikan
nyesek sebagai mata penceharian sehari- hari untuk menapkahi anak- anaknya.
“Perosesnya yang lama. Kalau harga tergantung motif,”
katanya menjelaskan.
Sementara Kades Sukarara, Timan menyampaikan, salah satu
faktor yang menjadikan kain tenun Sukara dikejar-kejar oleh wisatawan adalah
prosesi pembuatan.
Tidak hanya cara membuat yang masih tradisional, bahan
warna yang digunakan untuk pintalan benang juga masih tergolong alami. Seperti
daun mengkudu, daun palem bahkan daun pisang.
“Kami percaya warisan
oleh nenek moyang kami mampu memberikan jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup,”
katanya. (Erwin)
0 Komentar