Lombok Utara (postkotantb.com) -
Bertujuan untuk melestarikan, memperkenalkan serta mempertahankan keasrian alam
dan kebudayaan masyarakat hukum adat, serta adanya forum yang menjadi wadah
bagi masyarakat hukum adat Bayan, dilakukan Festival Sangkep Beleq. Bertempat
di Desa Senaru Kecamatan Bayan, Pemda KLU bekerja sama dengan Somasi NTB
mengelar Festival Sangkep Beleq selama dua hari (17/7).
Acara Sangkep Beleq, dihadiri Kadis Kebudayaan dan
Pariwisata H Muhammad SPd, Perwakilan OPD KLU, unsur Somasi NTB dan KLU, Tokoh
Adat, Tokoh Agama dan tamu undangan lainnya.
Ketua Pelaksana Festival Sangkep Beleq Raden Sawinggih,
menyatakan bangga karena hadir tiga unsur mulai dari Pemekel, Kiai Adat Bayan,
Tuaq Lokaq. Tiga unsur yang mewakili masyarakat adat, sebagai penyokong dan
pelestari adat Bayan.
"Festival ini sudah dilakukan dua kali, festival
pertama mengangkat tema tentang pentingnya tanaman bambu. Sedangkan festival
kali ini, sebagai tindak lanjut dari isu kompleks tentang adat, tantangan
global hak adanya geopark rinjani yang didalamnya terdapat situs-situs
sejarah," tuturnya.
Oleh karena itu, festival ini dihajatkan dapat menakar
pengaruh global hak agar alam dan budaya tetap lestari.
Untuk menajamkan upaya pelestarian adat dan budaya, maka
dalam proses festival ini dilakukan sangkep beleq masyarakat adat.
Dikatakannya, sebagai bentuk promosi kebudayaan, pada
malam hari dilakukan pertunjukan budaya, adat dan tradisi yang ada di Bayan.
Raden Sawinggih menjelaskan adat dan budaya sebagai momentum persatuan
masyarakat adat dan paratokoh adat.
Direktur Somasi NTB Ahyar Supriadi SH dalam sambutannya,
mengapresiasi budaya dan adat yang ada di Bayan sebagai satu kesatuan wilayah
adat yang ada di Kecamatan Bayan.
"Kami mengangkat tema pola hubungan sosial antara
manusia dan sumber daya alam, di KLU bisa beriring secara berkelanjutan. Inilah
yang menjadi pembeda antara Lombok Utara dengan kabupaten lain yang ada di
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Tantangan adat dan budaya, seperti arus globalisasi yaitu
tentang kemajuan teknologi yang membuat tak ada jarak. Dampak negatif teknologi
komunikasi yang berlebihan misalnya, disinyalir menghambat proses silaturrahmi
dan tradisi betabik yang terkikis antara masyarakat adat. Namun yang patut
disyukuri, ulasnya, arus teknologi komunikasi tak melunturkan masyarakat untuk
menjaga dan melestarikan adat.
"Kita harus mengakui, masyarakat adat masih lemah
pada pendokumentasian potensi dan situs-situs budaya dan adat. Secara perlahan,
Somasi bersama tokoh adat mulai mendokumentasi. Hasilnya, telah ada video dan
foto situs-situs budaya," imbuhnya.
Untuk memperkuat tradisi adat dan budaya Bayan, Somasi NTB
bersama pemerintah daerah menyusun Raperda Pengakuan Masyarakat Adat.
"Tahap raperda saat ini masih pada proses penggodokan
draf menjadi perda yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD)
Kabupaten Lombok Utara. Perda tersebut penting, agar terdapat pengakuan dari
negara tentang keberadaan masyarakat adat sehingga negara memberikan perhatian
dan dukungan kuat dan terlestarikan," tuturnya.
Melalui Sangkep Beleq, diharapkan dapat merumuskan masalah
dan solusi agar masyarakat adat dapat memperkuat dan melestarikan adat dan
budaya, disamping memunculkan keseimbangan hubungan sosial antara masyarakat adat,
budaya, dan alam.
Sementara itu, Kabid Sosial Budaya-Bappeda KLU Amir DH
menyampaikan bahwa Bappeda KLU mendukung kegiatan masyarakat, apalagi
menyangkut tentang masyasrakat adat.
"Kami memandang budaya dan adat sebagai karakteristik
wilayah hukum adat yang mesti lestari, ditumbuhkembangkan. Masyarakat hukum
adat dapat memfilter pengaruh arus globalisasi dan teknologi yang pesat,"
imbuhnya.
Mewakili Pemda KLU, Kadis Budpar KLU H Muhammad SPd dalam
sambutannya menyampaikan, Pemda KLU mendorong disegerakannya Perda Pengakuan
Masyarakat Adat, tinggal menunggu laju persetujuan dari DPRD untuk mematangkan
draf raperda menjadi perda.
"Dinas Pariwisata berencana menempatkan kegiatan
Pekan Kebudayaan di Kecamatan Bayan sebagai agenda tahunan. Pembacaan tembang
pengiling-iling sarat makna tentang tasawuf. Nilai yang terkandung tersebut,
jika benar-benar dilakukan maka memunculkan keseimbangan antara masyarakat
adat, budaya dan alam," paparnya.
Lanjutnya, Disbudpar KLU mendukung upaya dan kegiatan
penguatan dan pelestarian budaya dan masyasrakat adat, sehingga kedepan terbuka
jalinan kerjasama dengan masyarakat adat dan Somasi serta pihak terkait, dalam
penyelenggaraan festival tahun-tahun mendatang. Kadispar, para tokoh dan
pemerhati adat dan budaya, perlu menularkan dan menuturkan bahasa, adat dan
budaya kepada generasi muda.
"Saya mengapresiasi Somasi yang
telah menginisiasi dan memfasilitasi terbentuk dan proses terselenggaranya
sekolah adat. Mesti optimal memanfaatkan sekolah adat sebagai ruang bagi
masyarakat dan generasi penerus pelestari adat dan budaya. Pelestari alam yang
dapat bermanfaat pada kehidupan sosial, ekonomi masyarakat," jelasnya.
Kadispar secara resmi membuka festival adat Bayan yang
ditandai dengan dilakukannya adat Minangin. Proses memisahkan padi dari
tangkainya yang menimbulkan irama, irama yang keluar dari menaikturunkan
potongan bambu ke dalam Rantok (lesung perahu) yang sudah diisi hasil pertanian
berupa tangkai padi yang berbuah.
Secara filosofis, dimakna penyemangat dalam bekerja.
Minangin ini dilakukan oleh 3 hingga 5 orang disesuaikan dengan besar atau
kecilnya ukuran Rantok. Acara festival ditutup dengan pembacaan do'a. (Eka)
0 Komentar