Sumbawa (postkotantb.com) -
Desforestasi, kerusakan hutan akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan,
dinilai sebagai biang keladi masalah kekeringan yang terjadi di Pulau Sumbawa,
dan NTB secara umum. Akibat deforestasi itu, fungsi
kawasan yang tadinya bisa menjaga cadangan air tanah ketika musim kemarau tiba,
kini semakin jauh berkurang. Hal ini dibuktikan dengan terus
menurunnya debit air pada sejumlah kawasan mata air di hampir seluruh Pulau
Sumbawa.
"Jadi masalah kekeringan ini
bukan hanya soal terlambatnya musim hujan. Tapi penyebab utamanya ya karena
kerusakan hutan. Kalau masalah utama ini tidak diatasi, maka satu atau dua
dekade ke depan, bukan hanya pertanian yang terncam tapi masyarakat kita juga
akan mengalami krisis air bersih berkepanjangan," kata H Muhammad
Syafrudin (HMS), Rabu (7/11) di Sumbawa.
Kekeringan dan krisis air bersih
menjadi masalah yang selalu terjadi di sebagian besar wilayah Pulau Sumbawa,
dalam beberpa tahun terakhir.
Untuk mengatasi itu, papar Caleg DPR
RI dari PAN ini, tidak cukup hanya dengan pendekataan instan jangka pendek
seperti droping air bersih ke masyarakat.
Selain cost operasional yang cukup
besar karena distribusi air menggunakan kendaraan dan memerlukan tenaga
operasional dan BBM, pendekatan itu juga tidak memberikan solusi jangka
panjang.
HMS mengatakan, harus ada upaya
reboisasi atau penghijauan masif dan inovatif, serta memaksimalkan lahan
pekarangan untuk mengatasi masalah kekeringan di Pulau Sumbawa itu.
"Karena masalah utamanya adalah
deforestasi, ya solusinya harus dengan pemulihan kawasan hutan itu sendiri.
Jadi harus ada upaya yang masif untuk penghijauan, dan ada kesadaran komulatif
dari masyarakat untuk mulai memanfaatkan lahan pekarangan untuk menanam
pohon," katanya.
Menurut dia, laju deforestasi di
Pulau Sumbawa sepanjang beberapa tahun ini, tidak seimbang dengan kemampuan
pemerintah daerah di masing-masing wilayah untuk melakukan rebosisasi
menyeluruh. Namun dengan melibatkan para pihak
dan juga masyarakat, maka upaya itu pasti akan berhasil.
Ia mengatakan, pemerintah melalui
stakeholders terkait baik ditingkat Provinsi NTB maupun Kabupaten/Kota yang ada
di Pulau Sumbawa, harus mulai menyusun rencana aksi yang nyata untuk kegiatan
ini, dengan melibatkan semua pihak terkait dan masyarakat.
HMS yang seringkali turun ke Desa-Desa di pelosok pulau Sumbawa memaparkan,
kondisi deforestasi di Pulau Sumbawa sudah cukup parah.
Sejumlah mata air menyusut debitnya,
dan berpengaruh pada suplay air irigasi dan juga debit aliran sungai yang
selama ini menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan anomali
cuaca dan iklim akibat efek pemanasan global atau global warming.
Beberapa kawasan yang terus menurun
debit airnya, antara lain sejumlah kawasan DAS di Batu Lante, Semongkat, Teluk
Saleh, Moyo, Tambora.
Pasokan air untuk PDAM di Desa
Kerike, Kecamatan Unter Iwes, juga mulai terganggu akibat turunnya debit air di
suber-sumber air yang ada.
"Jika kondisi ini dibiarkan,
maka dalam dua dekade ke depan dipastikan Sumbawa akan defisit air
bersih," kata dia.
Untuk Generasi Mendatang
HMS menyadari, untuk melakukan
reboisasi yang masif, tentu dibutuhkan banyak waktu, biaya, dan juga upaya. Apalagi paradigma berpikir masyarakat
saat ini ingin yang instan dan cepat. Sementara menanam pohon, perlu waktu lama
sampai pohon itu bisa memberi manfaat.
"Tapi paradigma ini harus
diubah. Harus mulai ada kesadaran kolektif masyarakat dan semua pihak, bahwa
apa yang kita tanam hari ini, itu demi keberlangsungan kehidupan anak cucu
kita, generasi penerus kita mendatang," kata HMS.
Pola reboisasi yang dilakukan,
menurut HMS, juga tak boleh sekadar seremoni dengan pendekatan proyek semata. Pilihan jenis pohon juga harus
disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Tamanan pohon jenis Trembesi dan
semacamnya yang memiliki akar tunjang yang kuat, dinilai bisa menjadi jawaban.
Di tingkat masyarakat, HMS juga terus
mendorong semangat untuk mulai menanam di lahan pekarangan mereka. Dalam setiap perjumpaan dan diskusi
bersama masyarakat yang dikunjunginya di pelosok-pelosok Desa di Sumbawa, HMS
juga mendorong generasi muda, generasi milenial untuk mulai peduli lingkungan.
"Karena ini juga untuk
kepentingan generasi mendatang agar tetap bisa menikmati kondisi lingkungan
yang lebih asri dan baik," katanya.
Sebab, tambah HMS, masalah
defosestasi bukan hanya berdampak dan menjadi sumber utama kekeringan, tapi
juga menyimpan bahaya banjir di saat puncak musim hujan tiba.
Hutan yang bisa menjadi wadah
penyerap dan penampung air di saat hujan tiba, kehilangan fungsinya karena
habitat alaminya rusak. (Eka)
0 Komentar