Breaking News

Kontribusi Pendidikan Keluarga Tentang Anti Korupsi Hanya 5 Persen

Workshop "Optimalisasi Manajemen Sumber Daya Berbasis Good Governance untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat" di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina Jakarta, Senin (25/3).

Jakarta (postkotantb.com)- Masih tingginya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah menjerembabkan Indonesia pada ranking cukup rendah dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Dengan point IPK di tahun 2018 lalu yang hanya meraih point 38, Indonesia berada pada ranking 89 dari 180 negara yang diteliti oleh U4 Anti Corruption Resources Center.

Posisi Indonesia tidak lebih bagus dari Singapura, Malaysia, bahkan Brunei Darussalam. Namun masih lebih baik dari Filipina, Vietnam, dan Thailand untuk negara-negara se-Asean.

Hal tersebut dipaparkan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata,  saat memaparkan materi di Workshop "Optimalisasi Manajemen Sumber Daya Berbasis Good Governance untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat" di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina Jakarta, Senin (25/3).

Alexander Marwata memastikan bahwa capaian itu jauh lebih baik dari tahun 1997 saat point Indonesia hanya mencapai 17 dari skala 0-100.

"Kenaikan 20 point itu peningkatan yang luar biasa. Artinya ada upaya perbaikan upaya-upaya pemberantasan korupsi," tutur Alex.

Namun KPK, menurut Alex, beranggapan bahwa keberhasilan tersebut tidak menjadi prestasi KPK saja, karena semangat anti korupsi senyatanya adalah tugas semua pihak.

"Permasalahan korupsi harus menjadi collective mind (kesadaran bersama, red), baik keluarga, pendidikan, maupun pemerintah," pungkas Alex.

Tidak mudah untuk memberantas korupsi, aku Alex, saat Indonesia pernah mengalami masa yang sangat lama ketika korupsi itu tidak menjadi prioritas.

Bagi Alex, pendidikan pun berpengaruh terhadap pengembangan mental anti korupsi, terutama pendidikan di tengah keluarga.

"KPK pernah melakukan survey di Kota Jogjakarta. Kita tanya ke para ibu-ibu. Sejauh mana ibu-ibu itu menanamkan nilai-nilai kejujuran? Jawabannya sangat mengejutkan. Hanya 5% ibu-ibu kita itu menanamkan nilai-nilai kejujuran," papar Wakil Ketua KPK itu.

Ibu-ibu itu, imbuh Alex, lebih khawatir kalau nilai matematika anaknya itu mendapatkan nilai merah dibandingkan anaknya membiasakan ngantri.

Belum lagi soal anak-anak yang belum 17 tahun sudah mengendarai sendiri sepeda motornya. Para ibu, tegas Alex, malah berbangga karena anaknya bisa pergi sendiri ke sekolah dengan melanggar aturan berlalu lintas.

"Inikan juga pendidikan anti korupsi yang sangat-sangat tidak baik?. Kalau kita sudah membiasakan kepada anak-anak kita sejak dini melanggar hukum, percayalah nanti ketika dia masuk ke dunia kerja dia akan menggap bahwa melanggar aturan-aturan yang ada itu tidak akan ada masalahnya," tegas Alex.

Menurutnya, pemberantasan korupsi bukan soal agama, tapi moral. Ia menuturkan tentang IPK negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia, yang relatif pointnya tinggi, masyarakatnya sangat peduli terhadap anti korupsi.

"Banyak survey akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan mereka malah lebih banyak yang atheis (tidak percaya Tuhan, red). Artinya, ini bukan masalah agama. Ini masalah moral," papar Alex.

Mempertegas hal itu, Bupati Donggala Sulawesi Tengah, Kasman Lassa yang hadir di workshop itu berpendapat senada.

"Korupsi ini diberantas tidak hanya di tataran pejabat dan sebagainya. Saya berpikir bahwa perlu dimulai dari tataran Pendidikan Anak Usia Dini. Dari TK diberikanlah pelajaran itu. SD, SMP, sampai pelajaran SMA, karena kalau ini tidak kita lakukan, saya yakin nanti beberapa tahun ke depan negara kita masih seperti itu," ujar Kasman.

Kasman pun meminta agar materi anti korupsi bisa menjadi materi wajib yang diajarkan di Perguruan Tinggi, untuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, red),  bahkan untuk pendidikan karir di level Pendidikan Kilat Kepemimpinan (Diklatpim) II,  III,  dan IV bagi para aparatur Sipil Negara.

"Bisa mulai dari tingkat pendidikan penjenjangan,  katakanlah mulai dari masuk jadi pegawai kalau ASN, dari pra jabatan, sampai kepada pendidikan PIM IV, PIM III, PIM II dan pendidikan level di atasnya," pungkas Kasman. (Eka)

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close