Breaking News

FAKTA RI: Kami bangga jadi warga NTB, punya pahlawan Nasional

Lombok Tengah (postkotantb.com) - Bangsa yang besar dan benar adalah Bangsa yang menghargai perjuangan para Pahlawan. 

Sebab apa yang dinikmati saat ini, adalah bagian dari perjuangan para pahlawan, yang telah berjuang mengusir para penjajah dari Bangsa ini, sehingga meraih kemerdekaan, termasuk hasil perjuangan Almagfurullah TGKH Muhammad Zaenuddin Abdul Madjid, Pendiri Ormas terbesar di NTB, yakni organisasi Nahdlatul Wathan (NW).

Demikian dikatakan ketua Forum  Analisis Kebijakan Untuk Rakyat Republik Indonesian  (FAKTA RI) Muhanan, saat di konfirmasi, Rabu (10/11).

Dengan dinobatkannya Beliau sebagai pahlawan nasional 9 November 2017 lalu sebagai Pahlawan Nasional di Istana Negara Republik Indonesia, pihaknya selaku warga NTB khususnya, merasa bangga akan, penyematan gelar beliau sebagai Pahlawan Nasional.

"Kami selaku Masyarakat NTB, sangat bangga memiliki pahlawan nasional, sebab gelar ini belum tentu dimiliki oleh Daerah lain," katanya.

Atas kebanggaan tersebut, pihaknya selaku masyarakat dan pendiri FAKTA RI, ini adalah sebuah keistimewaan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat NTB, sebab satu putra daerah telah diberikan gelar bersejarah dan istimewa, yang patut di syukuri bersama.

Gelar Pahlawan itu disematkan ke beliau dan hari ini tanggal 10 November 2021, adalah puncak kebanggaan masyarakat NTB.

"Dua bulan lalu, saya sempat mendengar kalau Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah melalui Kementerian Agama Lombok Tengah, mengadakan acara road show ke makam beliau yang ada di Pancor Kabupaten Lombok Timur. Dan baru baru ini kami atas nama perkumpulan FAKTA RI mendapatkan undangan dan hari ini kami bersama rombongan juga ikut berbaur dengan rombongan, ikut melaksanakan ziarah makam," paparnya panjang.

Atas hal tersebut, pihaknya atas nama Perkumpulan FAKTA RI mengapresiasi pemkab Loteng atas pengakuan yg dirangkaikan dengan acara menyambangi makam beliau. 

"Terimakasih pak presiden dan terimakasih kepada kemenag Loteng, yang tergugah hatinya ikut memberikan penghormatan kepada pahlawan kita, dengan cara mengajak seluruh ormas dan pimpinan organisasi dan keluarga besar Kemenag, datang berziarah ke makam beliau," ujarnya.

Adapun biografi beliau adalah Pahlawan Nasional, Pendiri Nahdlatul Wathan

Maulana syaikh TGKH Muhammād Zainuddin Abdul Madjid, seorang ulama kharismatik dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islam terbesar di provinsi tersebut. 

Di pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islam dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.

Muhammad Zainuddin Abdul Majid

Muhammad Zainuddin Abdul Madjid' dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru HajI Abdul Madjid (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu'minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shalihah bernama Hajjah Halimah al-Sa'dīyyah.

Nama kecil beliau adalah 'Muhammad Saggāf', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjid, didatangi dua waliyullah, masing-masing dari Hadramaut dan Maghribi. Kedua waliyullah itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqāf". Beliau berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjid supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqāf", yang artinya "Atapnya para Wali pada zamannya". Kata "Saqqāf" di Indonesia menjadi "Saggāf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya beliau sering dipanggil dengan "Gep" oleh ibu beliau, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.

Setelah menunaikan ibadah haji, nama kecil beliau tersebut diganti dengan 'Haji Muhammad Zainuddin'. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang 'ulama' besar yang mengajar di Masjid al-Haram. Akhlak dan kepribadian ulama' besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulama' besar itu adalah Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak, dari Serawak, Malaysia.

Adapun Silsilahnya, Menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni dan keturunan Sulthan-Sulthan Selaparang, sebuah kerajaan Islām yang pernah berkuasa di Pulau Lombok. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.

Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisis yang diajukan oleh seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada kegiatan ziarah yang dilakukan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum (Pemilu). Praktik ziarāh semacam ini memang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat Sasak, untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya. Disamping itu pula, Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak pernah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang selama ini beredar tentang silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan Sulthan-Sulthan Kerajaan Selaparang.

Keluarga, Maulana syaikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Sarbini, Siti Cilah, Hajjah Sawdah, Haji Muhammad Shabūr dan Hajjah Masyitah.

Ayahandanya TGH. Abdul Madjid yang terkenal dengan penggilan "Guru Mu'minah", semasa mudanya bernama Lukmanul Hakim merupakan seorang mubaligh dan terkenal pemberani. Beliau pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibu Maulana syāikh, Hajjah Halimah al-Sa'dīyyah terkenal sangat shalihah. Lukmanul Hakim membawa Maulana syāikh ke Mekkah untuk menimba ilmu agama ketika beliau berusia 9 tahun.

Pendidikan, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur'an) dan berbagai 'ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahandanya, yang dimulai sejak berusia 5 tahun.

Pendidikan Lokal, setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan oleh ayahandanya untuk menuntut 'ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal, antara lain TGH. Syarafuddin dan TGH. Muhammad Sa'id dari Pancor serta Tuan Guru 'Abdullah bin Amaq Dulajī dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan guru membaca Kitab yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid secara bergantian membaca.

Pendidikan di Mekah, Untuk lebih memperdalam 'ilmu agama, Muhammad Zainuddin remaja kembali berangkat menuntut 'ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddīn. Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.

Belajar di Masjid al-Haram, Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat tersebut bernama Syaikh Marzūqī, seorang keturunan 'Arab kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjid al-Haram, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. 

Disanalah Maulana syāikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid diserahkannuntuk belajar.

Selain itu juga sempat belajar 'ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syaikh Muhammad Aman al-Qutbi dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyid Muhsin Al-Palembanī, seorang keturunan 'Arab kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau di Madrasah al-Shaulatiyah.

Ketika ayah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pulang ke Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syaikh Marzuki, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut 'ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliau akan ilmu. Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan  dengan golongan Wahabi.

Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah

Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyāth.

Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia.

Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, dari kelas 4 ke kelas 6, berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.

Perjuangan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemudian kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliau kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan Sekembali dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemudia pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut beliau abadikan menjadi nama pondok pesantren 'Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'. Istilah 'Nahdlatain' beliau ambil dari kedua madrasah tersebut.

Al Mukkarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama' pemimpin umat, dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa telah mengemban berbagai jabatan dan menanamkan berbagai jasa pengabdian.

Oleh karena jasa-jasa beliau itulah, maka pada tahun 1995 belau beliau dianugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah. Disamping itu, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat.

Di antara inovasi/rintisan-rintisan beliau adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasah, membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita, mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi, menyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan doa dengan berhizib, mengadakan syafa'at al-kubro, menciptakan tariqat, yakni tariqat Hizib Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah), menyusun nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan lain-lain.

Karya, Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama' pewaris para Nabi, di samping menyampaikan dakwah bal-hal wa bi al-lisan, juga tergolong penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan yang harus diisi maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. 

Kendatipun demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliau masih sempat mengarang beberapa kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.

Wafat akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21 Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama kharismatik, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kediaman beliau di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. 

Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. Lafran Pane asal Daerah Istimewa Yogyakarta. (AP)

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close