Jayapura, (postkotantb.com) - Pada 16 Oktober 2024, kantor redaksi media Jubi Papua di Kota Jayapura diguncang teror bom yang dilempar oleh orang tak dikenal (OTK) di halaman depan.
Peristiwa ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua, yang terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah (NGO), pekerja pers, dan pengacara, baik dari Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, hingga tingkat nasional dan internasional.
Direktur Paham Papua, Gustaf Kawer, menegaskan bahwa kasus teror bom ini bukan perkara sepele, melainkan kasus serius yang membutuhkan penanganan segera dan profesional dari pihak kepolisian.
Kawer menyoroti, bahwa proses pengungkapan kasus-kasus teror serupa sebelumnya, termasuk terhadap jurnalis dan aktivis HAM, cenderung lambat dan kerap tidak membuahkan hasil.
Kawer menilai bahwa dalam kasus bom di kantor Jubi, pengungkapan pelaku seharusnya tidak terlalu sulit karena terdapat banyak CCTV di sekitar lokasi kejadian.
"CCTV lengkap di tiap titik, tinggal dicek saja, pasti pelaku bisa ditemukan," ujarnya.
Ia juga mengkritik pihak kepolisian yang terlihat lamban dalam memproses laporan, padahal menurutnya, polisi bisa memulai penyelidikan tanpa harus menunggu laporan dari korban.
Lebih lanjut, Kawer menekankan pentingnya penerapan pasal yang tepat, seperti Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Darurat, untuk mempercepat pengungkapan kasus ini.
Ia juga menggarisbawahi, bahwa penggunaan pasal dalam laporan pidana umum dapat memperlambat proses penyelidikan. "Kalau penanganannya menggunakan pidana umum, penyelidikan bisa berjalan lambat dan sering kali alasan yang muncul adalah kurangnya bukti," katanya.
Koalisi Advokasi mendesak agar pihak kepolisian segera menangkap pelaku dalam waktu 1x24 jam dan membawa kasus ini ke pengadilan dengan hukuman maksimal.
"Kalau ini benar-benar ditangani serius, pelaku seharusnya sudah ditangkap dalam waktu singkat, bahkan dalam waktu kurang dari satu minggu," tambah Kawer.
Ia juga menekankan bahwa jika seandainya terbukti pelaku berasal dari institusi keamanan seperti TNI atau Polri, maka tindakan tegas harus diambil, termasuk pencopotan pelaku dan komandan mereka dari kesatuan mereka.
"Supaya perilaku teror ini tidak berulang dan tidak mencoreng nama baik institusi TNI atau Polri," tegasnya.
Teror terhadap jurnalis di Tanah Papua bukan kali ini saja terjadi.
Kawer menyebutkan beberapa kasus teror serupa yang tidak diungkap tuntas, termasuk yang menimpa jurnalis Victor Mambor. Ia berharap kasus ini bisa menjadi titik balik bagi aparat keamanan untuk menunjukkan komitmen mereka dalam melindungi pers dan aktivis.
Jika kasus ini terungkap, Kawer menyatakan apresiasinya kepada aparat yang terlibat. "Kita harap aparat hadir untuk masyarakat, hadir untuk pers, dan hadir untuk aktivis," tutupnya.
Kasus ini menjadi ujian bagi aparat kepolisian dan lembaga hukum lainnya, untuk membuktikan keseriusan mereka dalam menangani terorisme dan memberikan rasa aman bagi para jurnalis dan aktivis di Tanah Papua. (Red)
0 Komentar