Breaking News

Menjaga Kewarasan Publik di Tengah Peringatan Hardiknas

 

Oleh: apt. Hj. Lale Syifaun Nufus, M. Farm (Wakil Ketua DPD GERINDRA NTB)


Tepatnya tanggal 2 Mei 2022 mendatang, kita akan berjumpa dengan peristiwa penting dalam perjalanan hidup kita sebagai bangsa yang besar, yaitu “Hari Pendidikan Nasional”.

Suatu moment yang menjadi penguat kita untuk meneguhkan universitas sebagai ruang penyedia yang independen, inovatif dan bebas dari kepentingan politik praktis.

Begitu juga dengan keberadaan para civitas akademika (pendidik) didalamnya, juga harus hadir sebagai pendulum kekuatan yang mandiri dan bebas dari berbagai kepentingan politik-ekonomi sebagaimana yang termuat dalam dokumen Magna Carta Universitatum (1988) di Bologna yang menjadi rujukan filosofis universitas-universitas di dunia.

Namun sangat disayangkan, harapan ideal yang terselip di moment HARDIKNAS nanti, kini terusik oleh  nada-nada sopran yang bertendensi akomodasi dan apiliasi yang datang dari sekelompok oknum pendidik yang mengaku dari koalisi pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Bima-Dompu

Tentu saja, koalisi ini bukan refresentatif, juga mewakili seluruh masyarakat Bima-Dompu.Koalisi PTS tersebut ujug-ujug ambil bagian, menyikapi urusan internal Partai GERINDRA, yang tengah melakukan penguatan kerja-kerja konsolidasi dan kerja-kerja politik Partai  GERINDRA dalam menghadapi perhelatan Pileg dan Pilpres 2024, di DPRD Provinsi NTB, yang salah satunya dengan melakukan pergantian pimpinan DPRD yang semula dijabat oleh MORI HANAFI, digantikan Naufar Farinduan, sebagaimana termaktub dalam SK DPP Partai GERINDRA No. 04-0126/Kpts/DPP-GERINDRA/2022.

Dalam tuntutannya, Koalisi Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada poin pokok menyatakan, pergantian Mori Hanafi sungguh tidak memperhatikan keterwalikan politik yang sudah menjadi sensasional demokrasi (kesepakatan bersama), sejak bersatunya P. Lombok dan P. Sumbawa.

Dengan digantinya Mori Hanafi sebagai Wakil Ketua DPRD maka menambah deretan ketidak- berdayaan politik dan berubahlah komposisi pimpinan menjadi Ketua dan Wakil Ketua DPRD P. Lombok.

Narasi-narasi yang dibangun tersebut sangat disayangkan dan sungguh tak elok terlontarkan,  terlebih dari mereka yang berprofesi sebagai akademisi.

Narasi yang demikian, patut diduga sebagai suatu bentuk pengingkaran terhadap rumah besar Universitas sebagai rumah Ilmu Pengembangan Peradaban yang didalamnya berisikan para kaum intelektual yang tidak etis bilamana menjadi alat kampanye oknum politisi tertentu.

Bukankah kampus harus memposisikan dirinya di tengah dan tak menunjukan tarian politik pragmatis atau keberpihakan pada ambisi  lepas landas oknum politisi. Sebab, sekali lagi  Universitas adalah suatu institusi otonom, sehingga tidak ddapat diperkenankan untuk memihak secara brutal pada satu kepentingan oknum politisi tertentu.

Apa lagi menghabiskan waktu untuk menyibukkan diri mencampuri urusan internal Partai orang lain. Atau yang dalam bahasa kekiniannya dikenal dengan istilah “Kepo Kuadrat”.

Perspektif yang terbangun ini bukan dalam rangka anti kritik, dan tentu saja tidak demikian. Silahkan kita saling bertukar pandangan namun dengan cara yang etis dengan menyadari embarkasi masing-masing pandangan.

Bukankah masing-masing dari kita punya kolam yang berbeda, kolam ikan teri tidak diperkenankan masuk ke kolam ikan lele, karena bisa berbahaya.Kita mau jadi pengamat silahkan, tapi jangan menyeret nama besar kampus untuk kepentingan yg lain-lain, atau keluar dari karakteristik  kampus sebagai gudang ilmu pengetahuan dan penunjang peradaban.

Bima dan Dompu terlalu besar jika hanya disematkan pada satu politisi tertentu, yang konon di kampungnya sendiri tidak mampu meraih suara terbanyak.Bukankah kita sama ketahui bahwa Bima dan Dompu menyimpan ratusan SDM-SDM hebat dan mumpuni. Ada banyak politisi berkualitas yang juga berasal dari wilayah Bima-Dompu yang kita sama-sama cintai ini.

Menurut hemat saya, bila kita merespon dinamika politik secara berlebihan, akan menimbulkan preseden yg buruk bagi perkembangan demokrasi dan harmonisasi kehidupan antar suku di dalamnya. Wabil khusus NTB.

Dengan kita bereaksi secara berlebihan dalam menyikapi pergantian Mori Hanafi ini, justeru itu akan menihilkan ratusan SDM-SDM hebat dan mumpuni yang ada di Bima-Dompu yang sama-sama kita hormati dan cintai.Pergantian kepemimpinan di DPRD NTB juga rupanya tidak hanya terjadi di Partai Gerindra. PKS dan Demokrat juga melakukan hal yang sama. Juga partai-partai lainnya. Terus apa yang beda.

Dari sekian banyak jawaban, salah satunya kita dapat memahaminya yaitu bukan karena Mori Hanafinya, tetapi lebih karena Partai GERINDRA nya, Partai besar peraih suara terbesar di NTB, yang berkonsekuensi pada dinamika-dinamika yang terjadi didalamnya, yang akan menjadi sorotan public.

Pada kenyataan inilah, pak HBK tak henti-hentinya terus mengingatkan kami para kader Partai untuk tetap tenang  tidak reaktif, dan terus menjaga tutur kata dan perilaku sikap untuk menjaga nama baik dan nama besar Partai GERINDRA.Kembali pada pergantian Mori Hanafi, yang pasti, bahwa pergantiannya telah melalui proses dan pertimbangan yang rasional dan  objektif.

Dan akan tetap berjalan sesuai mekanisme, aturan, dan perundang-undangan yang berlaku.Tak dapat dihentikan.Oleh karenanya, tidaklah elok bagi orang yang berada di luar Partai Gerindra kemudian  menerka- nerka dengan sesuka hati proses pergantian tersebut. Apalagi dengan menyeret- nyeret nama besar kampus untuk melegitimasi pandangannya supaya terlihat objektif.

Sekali lagi, yang perlu kita ingat bahwa kampus bukanlah organisasi PARPOL, melainkan sebagai gudang ilmu pengetahuan dan penyangga peradaban kemuliaan bersikap dan menebar ke faedahan bagi kemaslahatan masyarakat yang salah satu jembatannya adalah dengan menerapkan Tri Darma Pendidikan didalamnya.

Para  kaum intelektual didalamnya semestinya fokus pada kewajibannya menjalankan amanah Tri Darma Pendidikan yang dimaksud, yakni kewajiban untuk menjalankan Pendidikan dan Pengajaran; Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian kepada masyarakat. Bukan sibuk mengurusi urusan internal orang lain, dan terjun dalam politik pragmatis yang syarat dengan trik-trik akomodatif.

Dan sebagai penegasan lainnya, Koalisi Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang telah menyikapi keputusan Partai GERINDRA dalam melakukan pergantian Mori Hanafi sebagai Wakil Ketua DPRD NTB, terlalu prematur apabila diartikan sebagai bagian item Pengabdian kepada Masyarakat.

Pengabdian kepada Masyarakat dalam Tri Darma Pendidikan secara normatif adalah, kegiatan civitas akademika yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pada konteks inilah maka semestinya para kaum intelektual yang tergabung dalam Koalisi Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) jauh lebih baik untuk fokus pada pemberdayaan Mahasiswa/i untuk menjadi kreatif, inovatif, mandiri dan berdaya saing serta menumbuhkan semangat kewirausahaan dan penguatan literasi data kemampuan untuk membaca, menganalisa,  dan menggunakan informasi (Big Data) di dunia digital, agar Mahasiswa/i dapat  memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (Coding, Artificial Intelegensi, Engineering Principles, & Cyber-Security), dan ini sebagai bekal Mahasiswa/i  untuk mampu bersaing di dunia kerja ditengah era diserupsi ini.

Sudut pandang lebih utama untuk diketengahkan daripada melihat era disrupsi dari sisi Geopolitik karena didalamnya obyektivitas seringkali tersandera oleh syahwat kepentingan oknum politisi tertentu.

Sekali lagi jangan kita mencederai semangat peringatan HARDIKNAS ini dengan melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari karakteristik Tri Darma Pendidikan.

Justeru sebaliknya, melalui momen peringatan HARDIKNAS ini, marilah kita jadikan sebagai lokomotif penguatan sikap Ing Ngarso Sung Tuladha (didepan menjadi tauladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan). Bukan malah menjadi tauladan yang sibuk mengurusi urusan orang lain, menjadi pembangkit semangat perpecahan, juga menjadi lokomotif tindakan rasisme.

Mari kita bangkitkan kembali semangat menjaga kewarasan publik demi kehidupan yang harmoni di NTB.

Sudah tidak pada tempatnya lagi, dalam kemajuan demokrasi seperti sekarang ini, kemudian kita membangun sentimen rasisme untuk memperjuangkan kepentingan orang perorang.Ini adalah kemunduran. (red).

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close