Breaking News

'Jalan Tengah', Demokrasi Konsensus Disparitas Kehidupan Berbangsa

Ria Sukandi.

Oleh:

Ria Sukandi
Koordinator Divisi Hukum, Parmas Dan Humas Bawaslu, Kabupaten Lombok Utara.


Gelaran Pemilihan Kepala Daerah sebagai wujud sarana rakyat dalam menentukan pemimpin di daerah Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota serentak di Indonesia mulai di helat tahun 2024.

Pelaksanaannya diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 atas perubahan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tahun tentang pemilihan Gubernur Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024.

Dan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2024 tentang Pemerintah Daerah sebagai dasar pelaksanaan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah.

Sementara rezim penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) sendiri pelaksanaannya diatur  terakhir melalui penetapan pemerintah pengganti Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2023 Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang

Keserentakan rezim pemilihan ini tidak luput dari penyamaan rasa atas makna persatuan, kesetaraan dan pemerataan nilai-nilai demokrasi.

Menilik dari penyeragaman waktu perhelatannya terdapat empat elemen khusus dalam sistem demokrasi Indonesia, yaitu unsur mufakat (kebulatan pendapat), unsur perwakilan, prinsip musyawarah, prinsip kebijaksanaan dari Nusantara yang beragam

Dalam pandangan lain tawaran 'Moderasi Demokrasi', sebagai tawaran jalan tengah berdemokrasi yang dihajatkan, mampu memberikan kontribusi terhadap pemahaman berdemokrasi secara holistik demi terhindar dari gesekan sosial di tengah masyarakat.

Pada pandangan ini, penulis berpendapat apa yang dimaksudkan sebagai 'Moderasi Demokrasi', sebagai jalan tengah berdemokrasi, hanya mewakili dominasi keresahan entitas tertentu semata yang barangkali saja memberi dampak pada sesuatu hal terhadap identitas yang melekat pada sikap kewaspadaan belaka buram pada makna entitas formil yang sebenarnya.  

Sebagai resiko kontestasi dan gelaran Pemilihan sebagai syarat mutlak pemenuhan Negara Demokrasi atau penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah yang sebentar lagi dihelat, sudah barang tentu produknya adalah soal kalah dan menang. Dampaknya yakni, menimbulkan rasa kesal dan kecewa, karena kekalahan yang dialami.

Demikian sebaliknya, rasa haru, bangga dan bahagia tersemat pada pihak yang menang. Bukankah kalah dan menang di setiap pertandingan, merupakan keniscayaan. Memang suatu konsekuensi yang tidak pupus sepanjang sejarah ummat manusia. Lalu pada hal yang mana kemudian moderasi ditawarkan sebagai jalan tengah Demokrasi?

Harfiahnya moderasi memiliki pengertian pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman atau moderasi sebagai 'Jalan Tengah'. Perombakan kebijakan dalam ihwal kabinet atau pejabat di level nasional dan daerah sebagai upaya penyegaran.

Selain lumrah terjadi, pun karena ada jaminan regulasi dalam pelaksanaannya, tapi jika dipandang mekanisme perombakan tersebut sebagai sesuatu yang bertolak belakang yang didasari berbeda pilihan menjadi hal yang manusiawi.

Kebijakan pemerintahan baru dari hasil proses berdemokrasi dilegalkan regulasi dalam melakukan perombakan asal, sesuai mekanisme yang ada demi terwujudnya percepatan realisasi visi dan misi.

Pada pengertian ini pemaknaan 'Jalan Tengah' dalam konteks Demokrasi belumlah cukup sebagai tawaran atau pilihan. Asbabnya adalah karena 'Jalan Tengah', merupakan penegasan terhadap satu atau lebih entitas formal, mayor dan minor yang pada ketunggalan sifatnya, merupakan klimaks kebenaran yang paling tinggi dan sensitive dalam sendi berkehidupan seseorang atau lebih disebut dengan 'Keyakinan'.

Alih- alih ingin 'Moderat' tidak lantas kemudian menempatkan kekhawatiran yang berlebihan, sebagai frase apalagi sampai memiliki pandangan seolah-olah ditumpuk pada keterwakilan ekstremitas perasaan semata.

Mengutip pesan sederhana tapi syarat makna dari presiden ke 5 Republik Indonesia Hadartussyeh KH. Abdurrahman Wahid kurang lebih bunyinya perbedaan itu suatu keniscayaan yang hendaknya ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi dan lagi universal.

Dasar pemikiran inilah penulis mencoba menguntai makna sebenar- benarnya moderat atau jalan tengah. Kerukunan menciptakan harmonisasi, antara hubungan Ubudiyah dan Watoniah sesorang, bahkan menciptakan pemerintahan yang Baldatun Toyibatun Warrabun Ghofur.

Makna lainnya yang ingin dikemukakan penulis adalah prinsip 'Jalan Tengah' dapat dimaknai sebagai peredam pemicu konflik yang timbul baik secara komunal, antar agama, suku, adat istiadat bahkan ras yang meluas dapat berimbas pada instabilitas politik dan keutuhan negara.

Akhirnya kalimat 'Moderat/ Jalan Tengah' tidaklah ditempatkan sebagai sisipan rasa ke was- wasan yang berlebihan sementara, lokus dan tempusnya masih buram dan tidak cukup ihwal untuk mengukurnya.

Demokrasi, sebagai titik konsensi atau kesepakatan dari disparitas keyakinan, suku, adat dan budaya bahkan ras. Hingga 78 tahun lamanya sejak Indonesia merdeka menggambarkan cukup ampuh sebagai cara/ sistem perekat pemersatu perbedaan kehidupan berbangsa.

Bukankah para pendiri bangsa meletakkan keyakinan demokrasi sebagai cara pandang kehidupan berbangsa, suatu sistem nilai yang sedemikian rigid penjelasannya.

Dus, pada titik keyakinan inilah (Pancasila) sebagai 'Jalan Tengah' mampu menempatkan seluruh perbedaan di tempat yang paling tinggi, membentuk karakter Indonesia dalam terwujudnya kehidupan yang sejahtera berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pesan 'Jalan Tengah' agar benar- benar digunakan ditempatkan demi terwujudnya perdamaian di atas segala-galanya. Kenapa demikian! Karena 'Demokrasi sesungguhnya konsensus Disparitas berkehidupan'. Allahua'lam.

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close