Lombok Barat (postkotantb.com)- Polemik pemanfaatan roy pantai (Resapan) di Pantai Tanjung Bias, untuk penempatan lapak oleh Pemerintah Desa Senteluk kian hangat.
Belum lama ini, Kepala Dinas PUTR Lombok Barat, HK HL Winengan membeberkan laporan soal dugaan pungutan liar (Pungli) terhadap pemilik lapak di Pantai Tanjung Bias modus retribusi bulanan, hingga mematok 20 hingga 25 persen pada setiap transaksi jual beli lapak.
Dalihnya, untuk kepentingan perubahan status kepemilikan lapak. Praktik pungli ini pun diduga melibatkan oknum pemerintahan desa.
Menanggapi polemik tersebut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Lombok Barat, H Maksum blak-blakan menyebut, itu kesalahan Pemerintah Desa Senteluk yang mengijinkan lapak menjamur di atas Roy pantai, hanya dengan bermodalkan peraturan desa.
"Mestinya kepala desa koordinasi dulu untuk legal formal, mengijinkan, dan merekomendasikan keberadaan lapak-lapak itu. Jadi harus tahu aturan dulu, dari desa harus tanya aturannya seperti apa sih, roy pantai ini, berapa meter jaraknya kalau untuk bangun lapak," singgungnya, usai menghadiri acara di SMPN 1 Gerung Selasa kemarin.
Dijelaskan secara regulasi, Disperindag Lombok Barat memiliki kewenangan dalam pemberian ijin operasi lapak dan UMKM. Jika desa ingin memanfaatkan lahan milik pemerintah, pihaknya akan membuat kesepakatan mengenai pembagian hasil.
"Lapak yang di bawah koordinasi dengan kami, kami akan buatkan MoU, dengan pembagian hasil 50:50," bebernya.
Sejak 2018 hingga saat ini, pihaknya belum pernah menerima permohonan dari Pemerintah Desa Senteluk, terkait keberadaan lapak di atas Roy pantai Tanjung Bias. Disindir soal retribusi, ia menegaskan, selama pantai tersebut dimanfaatkan, Disperindag Lombok Barat tidak pernah menerima serupiah pun setoran dari BUMDes maupun Pemerintah Desa Senteluk.
"Jadi itu harus dipertanyakan itu, bagaimana sih program desa itu," tegasnya.
Tidak adanya retribusi Lapak di Pantai Tanjung Bias yang masuk ke daerah, mendapat perhatian dari Guru Besar Universitas Mataram (Unram), Prof Zainal Asikin. Ia menegaskan, pemerintah desa tidak memiliki kewenangan membuat peraturan desa untuk menarik retribusi ke lapak.
"Yang boleh tentukan pajak dan besarannya itu pemerintah pusat, atau di level kabupaten. Bukan kewenangan desa," tegasnya.
Ia pun menyindir soal pengawasan Pemkab Lombok Barat, sehingga pemerintah desa leluasa menerbitkan peraturan seenaknya. Ia pun mendorong agar Pemkab Lombok Barat segera mencabut peraturan desa tersebut.
"Itu pungli. Pedagang atau pemerintah serta pihak-pihak tertentu, silahkan laporkan saja mereka (Pemerintah Desa,red) ke polisi," tegasnya.
Di sisi lain, ia menyarankan agar Pemkab Lombok Barat sedini mungkin menggelar sosialisasi larangan adanya lapak di roy pantai, serta melakukan pendekatan persuasif dengan para pemilik lapak.
"Dan yang perlu diingat, sebelum pedagang direlokasi, Pemkab Lobar harus memberikan win-win solution, dengan mencari lahan pengganti dan mendirikan fasilitas untuk para pedagang," jelasnya.(RIN)
Belum lama ini, Kepala Dinas PUTR Lombok Barat, HK HL Winengan membeberkan laporan soal dugaan pungutan liar (Pungli) terhadap pemilik lapak di Pantai Tanjung Bias modus retribusi bulanan, hingga mematok 20 hingga 25 persen pada setiap transaksi jual beli lapak.
Dalihnya, untuk kepentingan perubahan status kepemilikan lapak. Praktik pungli ini pun diduga melibatkan oknum pemerintahan desa.
Menanggapi polemik tersebut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Lombok Barat, H Maksum blak-blakan menyebut, itu kesalahan Pemerintah Desa Senteluk yang mengijinkan lapak menjamur di atas Roy pantai, hanya dengan bermodalkan peraturan desa.
"Mestinya kepala desa koordinasi dulu untuk legal formal, mengijinkan, dan merekomendasikan keberadaan lapak-lapak itu. Jadi harus tahu aturan dulu, dari desa harus tanya aturannya seperti apa sih, roy pantai ini, berapa meter jaraknya kalau untuk bangun lapak," singgungnya, usai menghadiri acara di SMPN 1 Gerung Selasa kemarin.
Dijelaskan secara regulasi, Disperindag Lombok Barat memiliki kewenangan dalam pemberian ijin operasi lapak dan UMKM. Jika desa ingin memanfaatkan lahan milik pemerintah, pihaknya akan membuat kesepakatan mengenai pembagian hasil.
"Lapak yang di bawah koordinasi dengan kami, kami akan buatkan MoU, dengan pembagian hasil 50:50," bebernya.
Sejak 2018 hingga saat ini, pihaknya belum pernah menerima permohonan dari Pemerintah Desa Senteluk, terkait keberadaan lapak di atas Roy pantai Tanjung Bias. Disindir soal retribusi, ia menegaskan, selama pantai tersebut dimanfaatkan, Disperindag Lombok Barat tidak pernah menerima serupiah pun setoran dari BUMDes maupun Pemerintah Desa Senteluk.
"Jadi itu harus dipertanyakan itu, bagaimana sih program desa itu," tegasnya.
Tidak adanya retribusi Lapak di Pantai Tanjung Bias yang masuk ke daerah, mendapat perhatian dari Guru Besar Universitas Mataram (Unram), Prof Zainal Asikin. Ia menegaskan, pemerintah desa tidak memiliki kewenangan membuat peraturan desa untuk menarik retribusi ke lapak.
"Yang boleh tentukan pajak dan besarannya itu pemerintah pusat, atau di level kabupaten. Bukan kewenangan desa," tegasnya.
Ia pun menyindir soal pengawasan Pemkab Lombok Barat, sehingga pemerintah desa leluasa menerbitkan peraturan seenaknya. Ia pun mendorong agar Pemkab Lombok Barat segera mencabut peraturan desa tersebut.
"Itu pungli. Pedagang atau pemerintah serta pihak-pihak tertentu, silahkan laporkan saja mereka (Pemerintah Desa,red) ke polisi," tegasnya.
Di sisi lain, ia menyarankan agar Pemkab Lombok Barat sedini mungkin menggelar sosialisasi larangan adanya lapak di roy pantai, serta melakukan pendekatan persuasif dengan para pemilik lapak.
"Dan yang perlu diingat, sebelum pedagang direlokasi, Pemkab Lobar harus memberikan win-win solution, dengan mencari lahan pengganti dan mendirikan fasilitas untuk para pedagang," jelasnya.(RIN)
0 Komentar