Oleh : Ahmad Rizal, A.Md.Kep
Penulis sebagai HSE officer di PT Mitra Tunggal Nusa Tenggara
Manusia dan lingkungan merupakan dua komponen yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan bekerja. Lingkungan kerja mencakup aspek yang berkaitan dengan tempat, sementara manusia berpegang sebagai pengendali atas lingkungan itu sendiri.
Dalam proses pelaksanaan kerja, banyak dinamika yang dilewati untuk mempertahankan lingkungan kerja agar terhindar dari bahaya yang mencakup variabel fisika, kimia, biologi, ergonomi dan psikologi yang erat kaitannya dengan manusia terutama keselamatan dan kesehatan kerja.
Sebagai negara maritim, Indonesia menginginkan hadirnya industrialisasi sebagai daya dukung ekonomi yang dapat mendorong hadirnya peluang kerja. Salah satu daya gerak yang dapat merealisasikan itu adalah investasi pada sektor industri.
Hadirnya perusahaan kecil, menengah dan besar dalam berbagai bidang investasi telah melahirkan banyak pusat industri yang berdampak pada meningkatnya pendapatan daerah dan kesempatan kerja yang terbuka.
Jika melihat dampak positif, maka keseluruhan alasan yang penulis ungkapkan di atas menjadi sangat relevan meskipun di satu sisi banyak hal yang perlu diperhatikan terutama jika sudah mengarah pada aktivitas produksi yang masih menjadikan manusia sebagai center utama dalam proses penciptaan produk oleh perusahaan.
Masalah yang sering dihadapi seperti upah rendah, penyakit akibat kerja (PAK), dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan masih mendominasi catatan Kementerian Ketenagakerjaan sepanjang tahun 2024 ini.
Sejauh ini, menurut data International Labour Organization (ILO) tahun 2023 mencatat bahwa setiap tahunnya terdapat 2,4 juta kematian terjadi karena penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan, sementara 2,78 juta pekerja lainnya meninggal akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Dengan tingginya angka kematian akibat aktivitas kerja maka hal ini harus menjadi perhatian khusus untuk saat ini.
Di negara kita saat ini, gambaran kasus PAK seperti fenomena gunung es. Analogi sederhana seperti bongkahan es dicelupkan ke air, yang terlihat adalah kecil di permukaan dan membesar di bagian bawah.
Sama halnya dengan perhitungan kerugian perusahaan akibat kecelakaan kerja di mana data kadang tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga masih banyak ditemukan pasien di rumah sakit yang melakukan rawat jalan dengan indikasi penyakit akibat kerja.
Istilah PAK bukan merupakan hal baru di dunia industri. Menurut Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI) tahun 2018, setidaknya ada 3 jenis PAK yang mendominasi di negara kita yaitu gangguan indera pendengaran, masalah otot, dan gangguan integritas kulit.
Jika melihat lebih spesifik maka terdapat 2,3 juta kematian terkait pekerjaan dengan persentase 2% terjadi karena penyakit, dan 0.3% terjadi akibat cedera kerja. Terdapat 386.000 kematian setiap tahun akibat paparan partikulat di udara dengan klasifikasi penyakit seperti asma sebanyak 38.000, PPOK berjumlah 318.000 dan pneumokoniosis dengan total 30.000 kasus.
Sementara angka kesakitan akibat asbestosis berkisaran di angka 107.000 – 194.000 kematian setiap tahun. Adapun 152.000 kematian lainnya akibat karsinogen ditempat kerja seperti kanker paru-paru sebanyak 102.000 kematian, leukemia berkisar di antara 7000 kematian dan meshothelioma ganas sebanyak 43.000 kematian.
Bagaimana upaya untuk menghindarinya?
Melakukan tahap evaluasi secepat mungkin adalah bagian dari upaya pencegahan PAK dengan melakukan berbagai cara diantaranya menentukan nilai ambang batas (NAB) yang merupakan standar faktor bahaya di tempat kerja.
NAB bisa dijadikan sebagai kadar/ intensitas rata-rata tertimbang waktu yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Pengukuran terhadap nilai ambang batas (NAB) harus merujuk pada Standar Nasional Indonesia. Seperti pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter indeks suhu basah dan bola (SNI 16-7061-2004), teknik penentuan titik pengambilan sample udara di tempat kerja (SNI-7230-2009), metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja (SNI 7231-2009), pengukuran getaran seluruh tubuh (SNI 7186-2009), dan pengukuran intensitas penerangan di tempat kerja (SNI 7062-2019).
Pajanan singkat Diperkenankan (PSD) kadar bahan kimia di udara ditempat kerja yang tidak dilampaui agar tenaga kerja yang terpajan pada periode singkat yaitu tidak lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi, dan kerusakan jaringan tubuh.
Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) faktor bahan kimia di udara tempat kerja yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga kerja melakukan pekerjaan. Indeks Pajanan Biologi (IPB) kadar konsetntrasi bahan kimia yang didapatkan dalam spesimen tubuh tenaga kerja dan digunakan untuk menentukan tingkat pajanan terhadap tenaga kerja yang terpajan bahan kimia.
Jenis pemeriksaan dan pengukuran lingkungan kerja bisa di lakukan dengan langkah-langkah berikut ini. Pertama, untuk mengidentifikasi potensi bahaya lingkungan kerja ditempat kerja meliputi area kerja dengan pajanan faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi dan faktor psikologi, KUDR (kualitas udara dalam ruang) dan fasilitas sanitasi.
Berkala, dilakukan secara eksternal paling sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sesuai dengan penilaian risiko atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ulang, dilakukan apabila hasil pemeriksaan atau pengujian sebelumnya baik secara internal maupun eksternal jika terdapat keraguan.
Khusus, dilakukan setelah terjadinya kecelakaan kerja atau laporan dengan tingkat pajanan diatas NAB. Menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman dan produktif adalah bagian dari tanggung jawab kita semua. Peran dan tanggung jawab sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Pemenaker No. 5 tahun 2018 tentang K3 lingkungan kerja. (**)
0 Komentar