Oleh: Mohamad Baihaqi Alkawy
Pengelola GenZ Dialog Circle (Genial) NTB
Mendengar rencana Pemerintah Daerah NTB yang hendak melebur Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan membuat kita sedih sekaligus pesimis. Kebijakan tersebut ibarat menusuk gelembung balon yang telah ditiup secara berkeringat dan susah payah oleh masyarakat sipil maupun pemerintahan sebelumnya.
Menusuknya memang mudah, tapi menginisiasi terbentuknya instansi tersebut tak segampang menelan ludah. Kehadiran DP3AP2KB selama ini sebagai rumah yang menaungi perempuan dan anak NTB. Pun instansi tersebut sebagai sektor penghubung khususnya bagi masyarakat sipil yang sehari-hari mengarusutamakan isu keadilan gender dan berjibaku mendampingi, melindungi dan membela sejumlah korban kasus kekerasan berbasis gender yang angkanya semakin hari membengkak dan terus menyebar.
Kasus kekerasan berbasis gender di NTB bak spiral; terus berputar memunculkan daftar korban yang semakin panjang. Gunung es kasus kekerasan perempuan dan anak menjadi problem kompleks yang tak cukup dibereskan secara sepihak dan kasuistik, melainkan juga mesti ditangani secara paradigmatik lintas sektoral dan DP3AP2KB adalah ujung tombaknya; memimpin orkestrasi lewat koordinasi dengan instansi lain baik di hulu maupun di hilir.
Dengan kata lain, upaya memotong kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang tak cukup dilihat bak ‘pemadam kebakaran’. Penanganannya membutuhkan penanganan khusus yang lebih menukik, terkonsep, tersistematisasi dan terukur. Prinsipnya, Pemda lewat DP3AP2KB dengan setumpuk tugas berat di pundaknya, mengupayakan munculnya generasi NTB yang berkualitas lewat sinkronisasi program untuk menyumbal lubang di hulu lewat pengarusutamaan gender (PUG).
Hanya saja, alih-alih menguatkan peran instansi yang menjadi rumah perlindungan bagi anak dan perempuan NTB, malah sebaliknya, pemerintah daerah hendak menggembosi dengan meleburnya dalam instansi gemuk macam Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Apa jadinya perlindungan perempuan dan anak jika harus diurus oleh instansi yang tak memiliki mekanisme, jejaring dan SDM dengan kapasitas pengetahuan dan pengalaman yang memadai terhadap problem ini?
Dalih efisiensi terlampau simplistis untuk menjelaskan kenapa instansi ini mesti dilebur. Bagaimana mungkin instansi vital macam DP3AP2KB ‘memberatkan Pemda’ atas nama penghematan, sementara maraknya kasus dan dampak kekerasan anak dan perempuan sangat mengancam generasi NTB di masa depan?
Selain itu, kebijakan tersebut juga terkesan memandang kasus kekerasan berbasis gender sebagai problem remeh temeh yang dapat dikerjakan sambil lalu dan ‘menyempil’ di tubuh instansi lain. Seakan-akan Pemda NTB ingin lari dan menutup mata terhadap maraknya kasus kekerasan perempuan dan anak di ruang terdekatnya seperti di sekolah-pesantren, rumah dan di lingkungan terdekat lainnya.
Menanti Kepekaan Pemda NTB
Upaya memotong kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan membutuhkan kehadiran pemangku kebijakan yang beres dalam memahami peliknya persoalan kekerasan berbasis gender. Pemahaman terhadap hal itu hanya dapat diperoleh dari pengamatan basah; melihat korban secara lebih dekat.
Itulah mengapa, kita mafhum, pemangku kebijakan mesti lebih telaten mengasah kepekaan dengan lebih banyak mendengar tinimbang berbicara. Bukan malah berdiri tegak hanya untuk mempersolek suatu kebijakan lewat narasi positif penuh optimisme bak juru bicara atau diplomat di mata asing.
Karena itu, pemangku kebijakan mesti lebih melihat ke dalam, mengamati peliknya persoalan secara dekat dan dapat menangkap gelombang pikiran dan perasaan masyarakat sehingga mampu menyamakan frekuensi khususnya dengan kelompok rentan.
Kita tahu, apa yang diperoleh dari mendengar dapat dijadikan landasan dalam memutuskan kebijakan publik yang efektif dan terpola.
Bilamana kebijakan publik berbasis faktualitas problem di bawah dilakukan, tentu tak akan muncul gelombang protes terhadap kebijakan yang sekadar dibayangkan oleh satu kepala yang terlampau gagap menyebut kata kemiskinan, kerentanan dan kekerasan.
Kualitas anak dan perempuan NTB mesti diposisikan sebagai prioritas utama pemerintah daerah bilamana hendak berambisi membawa manusia NTB bersaing di level dunia.
Bukankah jika perempuan dan anak NTB tumbuh dalam lingkungan yang aman, maka daerah dapat memetik hasilnya di masa depan? Sebaliknya, bilamana gegabah mengambil keputusan, tentu akan berpotensi menimbulkan luka yang menganga dan terus dipanggul seumur hidup oleh liyan (subaltern); si kelompok rentan itu sendiri. (**)
0 Komentar