Waingapu, (postkotantb.com) – Ribuan peserta Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hari ini secara resmi mulai disebar untuk menginap dan tinggal bersama masyarakat di berbagai lokasi permukiman warga di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan ini merupakan bagian integral dari rangkaian acara PNLH XIV yang berlangsung pada 18–24 September 2025, dan dirancang khusus untuk menciptakan ruang interaksi langsung yang mendalam antara peserta dengan komunitas lokal.
Para peserta, yang terdiri dari akademisi, aktivis lingkungan, perwakilan komunitas adat dari berbagai daerah di Indonesia, serta mitra internasional, akan menghabiskan waktu dengan menginap di rumah-rumah penduduk. Melalui pendekatan ini, mereka tidak hanya sekadar tinggal, tetapi juga terlibat dalam aktivitas keseharian masyarakat, menyelami tradisi, dan belajar secara langsung tentang kearifan lokal Sumba dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Tujuan dari program ini adalah membangun jembatan empati dan solidaritas yang autentik. Peserta diharapkan dapat mendengar langsung cerita, tantangan, dan aspirasi warga setempat-khususnya yang terkait dengan isu-isu lingkungan seperti tekanan terhadap hutan adat, konflik agraria, dampak perubahan iklim, serta ketahanan pangan.
Pengalaman ini diharapkan dapat memperkaya perspektif dan memperkuat analisis kritis peserta dalam menyusun rekomendasi kebijakan di forum PNLH XIV 2025
Kegiatan ini juga mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Sumba Timur. Wakil Bupati Sumba Timur, Yonathan Hani, dalam sambutannya beberapa hari sebelumnya menegaskan, bahwa even PNLH bukan hanya ajang diskusi, tetapi juga momentum untuk menunjukkan praktik hidup berkelanjutan dan semangat gotong royong yang masih hidup kuat dalam budaya masyarakat Sumba.
Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang TA Paranggi, selaku ketua panitia pelaksana, menambahkan bahwa pendekatan "tinggal dan belajar bersama masyarakat" ini merupakan wujud nyata dari komitmen gerakan lingkungan untuk keluar dari menara gading dan benar-benar berdiri di tengah masyarakat yang menghadapi langsung persoalan sosio-ekologis.
“Keadilan ekologis harus dimulai dari memahami suara akar rumput. Dari Sumba, kami ingin menunjukkan bahwa perlindungan lingkungan berjalan seiring dengan penghormatan pada hak-hak masyarakat adat dan lokal,” tegas Umbu. Hasil dari interaksi lapangan ini nantinya akan dirumuskan menjadi bagian penting dalam “Suara dari Pulau Sumba” – sebuah resolusi bersama yang mendesak pemerintah untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Kehutanan dan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sebagai langkah strategis menjawab krisis iklim dan konflik sumber daya alam yang terjadi di berbagai wilayah, termasuk NTT. (@ng)
Pewarta: Jaharuddin.S.Sos dari NTT
0 Komentar