Hariman Siregar Tokoh Utama Peristiwa Malari |
Mataram
(postkotantb.com)- Mentari belum lagi menampakkan wajahnya. Subuh itu, sekitar
pukul 05.00, Hariman Siregar masih tertidur di selnya di Rumah Tahanan Militer
(RTM) Budi Utomo Jakarta. Itulah hari kedua ia mendekam di salah satu sel Blok
5, salah satu blok yang "menyeramkan" di RTM Budi Utomo karena berpenghuni orang-orang yang akan
dihukum mati. Tak jauh dari tempat Hariman berbaring, terbujur dua sosok rekan
satu selnya: yang seorang adalah Mayor Jenderal (Polisi) Soewarno, mantan
Panglima Daerah Kepolisian Jakarta saat peristiwa Gerakan 30 September 1965;
dan seorang lainnya adalah Mayor Jenderal Soeratmo, mantan Komandan Komando
Logistik Angkatan Darat (Kologad). Kedua rekan satu sel Hariman itu adalah
tahanan politik yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di
keheningan subuh itu, tiba-tiba pintu sel dibuka. Seorang petugas RTM
membangunkan Hariman, dengan membawa sebuah kabar penting: Sriyanti Sarbini
Soemawinata, istri Hariman, dalam kondisi mengkhawatirkan di Rumah Sakit St.
Carolus. Hariman pun diminta bergegas untuk menjenguk istrinya ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, perasaan Hariman cemas dan was-was.
Saat ditinggal Hariman beberapa hari sebelumnya, Yanti memang dalam keadaan
hamil tua. Karena itu, Hariman mengkhawatirkan keadaan Yanti dan anak yang dikandungnya.
Setiba
di RS St. Carolus kecemasan Hariman menjadi kenyataan. Ia mendapati Yanti dalam
kondisi mengkhawatirkan. Sedangkan anak kembar yang dilahirkan sang istri sudah
meninggal dunia. Mendapati kenyataan itu, Hariman tak kuasa menahan kesedihannya.
Airmata mengalir menandakan keperihan hatinya. Tapi, sekejap kemudian Hariman
berusaha tegar. Sore hari itu juga ia ikut mengantar jenasah anak kembarnya ke
pemakaman Karet Bivak. Setelah itu, Hariman kembali ke rumah sakit untuk
menunggui Yanti. Sepanjang malam ia menunggui istri yang sangat dicintainya
itu. Tapi, pukul 03.00 dini hari ia harus kembali ke RTM Budi Utomo, sesuai
aturan yang berlaku saat itu. Saat Hariman meninggalkan rumah sakit, kondisi
Yanti masih dalam keadaan sadar.
Di
dalam selnya, Hariman tak bisa memejamkan mata. Pikiran dan perasaannya masih
tertuju kepada istrinya yang terbaring lemah di rumah sakit. Saat pagi baru
datang, petugas RTM kembali membawa Hariman ke rumah sakit. Sampai disana ia
mendapati sang istri sudah koma. Hariman pun diijinkan menunggui Yanti selama
sepuluh hari penuh. “Tapi, kesehatannya tak pernah pulih lagi. Sejak itu, Yanti
hilang ingatan,” kenang Hariman.
Setelah
ijinnya habis, Hariman pun kembali ke RTM Budi Utomo. Sepeninggalnya, yang
menunggui Yanti adalah ayahanda Hariman, Kalisati Siregar. Tapi, karena
kecapekan dan usia tua, beberapa hari kemudian Kalisati jatuh sakit. Sakit sang
ayah ternyata cukup serius. Hariman pun kembali diijinkan keluar tahanan, untuk
menunggui ayahnya di rumah sakit.
Tapi,
cobaan Tuhan kembali mendera Hariman. Pada tanggal 29 September 1974, di malam
hari, Kalisati Siregar menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Keesokan harinya
ayah dimakamkan. Kota Jakarta kala itu sedang dipenuhi kibaran bendera setengah
tiang. Tentu saja orang-orang memasang bendera setengah tiang bukan untuk
menghormati ayah, tapi karena tepat tanggal 30 September bendera memang
dikibarkan setengah tiang (untuk memperingati Peristiwa G 30 S/PKI). Namun, itu
semua gue anggap saja untuk menghormati mendiang ayah,” tutur Hariman.
Mendekam
di penjara, kehilangan bayi kembar, sang istri yang hilang ingatan, wafatnya
sang ayah, serta mertua-- Prof. Sarbini Soemawinata-- yang juga mendekam
dipenjara. Sebagaimana manusia biasa, rentetan peristiwa menyedihkan itu sempat
mengguncang jiwa Hariman Siregar.
Tidak
syak lagi, inilah masa terkelam dalam hidupnya. Dalam percakapan dengan
siapapun, jarang Hariman menyinggung masa-masa ini. Kalaupun ia mengisahkannya
selalu dengan mata berkaca, pertanda ia tak mampu menahan kesedihan bila
mengenang masa-masa tersebut.
Tapi,
Hariman segera menyadari itulah konsekwensi yang harus ditanggungnya atas sikap
kritisnya terhadap rejim Orde Baru. Semua kesedihan itu merupakan harga yang
harus dibayarnya karena melawan suatu rejim otoriter dan represif. Sebagai
ekspresi kesedihan itu,selama di penjara Hariman selalu menuangkannya dalam
catatan harian.
“Namun,
bila membaca kembali catatan harian itu hanyalah kecengengan belaka. Sekadar
uraian perasaan dan pikiran yang mendatangkan kesedihan. Padahal, gue nggak
boleh lengah apalagi kalah oleh kesedihan. Gue harus mampu membuat diri gue
sendiri menjadi kuat. Gue sedang melawan kekuasaan Soeharto, sampai mati gue nggak boleh kalah. Kita mesti
kuat, meskipun dia (Soeharto) terus menginjak-nginjak kita,” begitulah tekad
Hariman.
Hariman
bertekad tak mau kalah dalam menghadapi rejim Soeharto, meski badannya mendekam
di penjara.
Ia
mengenang masa-masa mendekam di penjara: “….Di penjara sebenarnya gue sedang
berhadapan juga dengan kekuasaan Soeharto dalam wujudnya yang lain. Di penjara
kekuasaan itu dimanifestasikan melalui sipir penjara, prajurit penjaga, petugas
pengawal, bahkan lewat benda mati seperti tembok dan gembok! Kalau kita sudah
dikunci di dalam sel, kita tak bisa melawan kekuasaan tembok dan gembok. Kita
tak bisa lagi melawan prajurit dan penjaga penjara yang mengunci sel.
Wujud
kekuasaan kini berganti. Tidak lagi berupa sosok Soeharto, melainkan bunyi
‘klik’ misterius ketika pintu sel kita digembok dari luar. Dan suara ‘klik’ itu
sungguh menimbulkan rasa kebencian yang amat sangat. Karena secara telak kita
menyadari bahwa kita sangat tidak berdaya. Tidak memiliki kekuatan perlawanan
apapun, kecuali kepasrahan.”
Apa
yang dialami Hariman merupakan imbas dari Peristiwa 15 Januari 1974 atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Peristiwa Malari—sebuah aksi kritis mahasiswa
terhadap modal asing, yang berbuntut kerusuhan sosial di Jakarta.
Sebelumnya,
ia tak pernah membayangkan hidupnya akan memasuki masa sekelam itu.
Cuplikan
salah satu bagian buku "Hariman dan Malari" (Januari, 2011) karya
Ucok Hasibuan.
0 Komentar