Breaking News

Dibalik Investasi, PT GTI Diduga Broker ?

Gili Trawangan
Mataram (postkotantb.com)- Menanggapi Polemik  PT. Gili Trawangan Indah (GTI), Wakil Ketua Komisi IV DPRD NTB, H. Lalu Pelita Putra SH, menuturkan, Persoalan Kontrak GTI, merupakan benang kusut yang belum jelas arah tujuannya.

"Ya, ini memang sudah kusut. Sulit untuk melerainya," tuturnya di ruangan Komisi IV DPRD NTB, Selasa (15/6).

Menurutnya, persoalan investasi yang serupa dengan polemik GTI, tidak hanya terjadi di era pemerintahan Dr. Zulkieflimansyah. Pasalnya, Beberapa tahun lalu, ada sejumlah broker mengaku diri sebagai investor berdatangan di wilayah selatan Pulau Lombok. Dengan tujuan ingin menguasai lahan di kawasan wisata, salah satunya Selong Belanak.

"Untuk mendapatkan pembagian blok lahan, syaratnya mereka harus punya PT. Setelah jadi perusahan dan berhasil kuasai lahan 50 sampai 100 hektare, mereka tidak membangun apa-apa sampai hari ini dan mereka malah menjual lahan itu. Jadi saya khawatir, GTI ini tidak lebih broker," singgung Pelita.

Dia berharap, Eksekutif dan Legislatif  duduk bersama membahas polemik GTI tidak menjadi masalah yang lebih besar dan berhujung mengorbankan masyarakat yang sudah berupaya membangun usaha dan menghidupkan pariwisata di Gili Trawangan.

"Kan mereka yang selama ini menghidupkan Gili Trawangan. Lalu PT GTI kemana. Kita harus akui, adanya masyarakat disitu dan membangun fasilitas pendukung wisata. Kalau mau membahas persoalan GTI, kenapa hari gini," kritiknya.

"Kalau memang GTI menyatakan siap tunduk untuk melaksanakan kontrak dengan harapan mendapatkan adendum, lalu selama ini ketundukan dan ketaatan GTI kemana, atau sudah tergadaikan," sambungnya.

Senada disampaikan Anggota Komisi IV DPRD NTB, Fraksi Gerindra, Sudirsah Sujanto. Dia menyebut, sejak 12 April 1995, masyarakat terlebih dahulu telah berinisiatif tinggal dan membangun berbagai fasilitas pariwisata. Tidak hanya itu, diperkirakan setengah dari lahan GTI, kini telah menjadi wilayah permukiman, dengan kondisi bangunan permanen.

Kenapa kemudian diketahui bahwa masyarakat setempat, diundang untuk menandatangani pernyataan kewajiban pembayaran kontrak lahan. "Arahnya tidak jelas, apakah ke GTI atau ke Pemprov NTB. Saya selaku perwakilan masyarakat akan tetap membela sampai kapan pun. Masyarakat tetap saya bela, apapun caranya akan saya tempuh," tegasnya.

Terpisah, Ketua Komisi I Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Syirajuddin, SH, mempertanyakan kapasitas Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB. Dia menilai, Kejati NTB yang ditunjuk dan diberi kuasa pengacara negara, melakukan intervensi berlebihan.

Padahal, kewajiban Kejati NTB hanya melakukan analisis dan kajian terhadap kontrak produksi antara GTI dan Pemprov NTB. Dengan harapan, muncul pendapat hukum yang kemudian diserahkan untuk dibahas oleh Eksekutif bersama Legislatif.

"Saya mempertanyakan kapasitas Kejati NTB itu apa? Apakah kewenangannya mengintervensi klausul atau memang mereka hanya sampai pada tahap memberikan pendapat hukum," ujarnya.

Sebaliknya, pria asal Kabupaten Dompu ini menyinggung soal Opsi adendum yang disepakati Pemprov NTB. Menurutnya, Gubernur NTB, tidak konsisten dalam mempertahankan prinsip "putus kontrak" terhadap GTI. Padahal sebelumnya, Gubernur NTB telah melayangkan somasi terhadap pihak perusahaan.

"Bahkan KPK dan BPK sudah menyarakan untuk diputus kontraknya. Kenapa malah setuju kontrak diadendum? Mahluk macam apa GTI ini. Kok bisa ditakuti dan malah mempengaruhi untuk mengintimidasi masyarakat di Gili Trawangan. Secara tidak langsung gubernur sudah menciptakan instabilitas daerah," ungkapnya.

Dia menegaskan, pihaknya tetap konsisten terhadap rekomendasi pemutusan kontrak produksi GTI, demi menjunjung tinggi integritas dan marwah lembaga legislatif. "Kami di Komisi I tetap satu suara, rekomendasi putus kontrak sudah final," tegasnya.

Berbeda dengan Komisi V DPRD NTB, Dr. Drs. Tuan Guru Hazmi Hamzar. Dia menilai, polemik kontrak GTI tidak dapat terselesaikan, jika Eksekutif dan Legislatif tidak bermusyawarah mufakat. Karena, kontrak GTI merupakan kontrak lama.

"Persoalan ini harus didiskusikan bersama. Itu jalan yang bijaksana. Jangan kita gagahan dan saling gengsi-gengsian. Ini kesannya kita saling meniggalkan. Tidak usah dengan cara seperti itu. Diskusikan saja bagaimana sebaiknya cara yang ditempuh," imbaunya.

"Apakah kita sekarang ada perubahan, mari kita rubah bersama. Kalau kita tetapkan ya kita tetapkan bersama. Cari dasar hukumnya, bisakah kita putuskan kotrak yang dibuat sekian tahun yang lalu, sebelum masa kontrak habis. Kalau memang ada dasar hukumnya ayo'. Kalau tidak ada dasar hukumnya tunggu sampai habis masa kontraknya," tutupnya.(RIN)
 

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close