Breaking News

Puasa dan Menakar Kualitas Komunikasi


Sejak era kenabian hingga saat ini, para ilmuwan pada masanya mengemukakan manfaat puasa berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan. Katakanlah perspektif kesehatan. Ketika berpuasa, maka sejatinya kita tengah memperkuat sistem imun tubuh dimana fungsi sel-sel getah bening akan membaik 10 kali lipat. Dengan berpuasa, kita sedang melakukan pembuangan racun-racun dalam tubuh, di samping sel-sel dalam organ tubuh kita melakukan proses pembaharuan sel dengan baik. Begitu pula, manfaat puasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan lainnya, semisal psikologi, sebangun dengan pendapat Fuad Nashori. Dalam tilikan Psikologi, setidaknya ada tujuh manfaat puasa: ketahanan fisik, nilai dan pengalaman keagamaan, nilai sosial, kontrol diri, kreativitas, agresivitas, dan perilaku seks.

Riset-riset yang telah dirilis para ilmuwan penting untuk diketahui guna menambah modalitas pengetahuan dan meneguhkan keimanan kita memaknai manfaat puasa yang selama ini kemungkinan kita peroleh hanya dari perspektif agama saja. Lalu, apa korelasi puasa dengan kualitas komunikasi kita? Untuk mengetahui hubungan puasa dengan kualitas komunikasi kita, dapat diungkap melalui tiga model komunikasi: transendental, intrapersonal dan interpersonal. Tulisan ini mengajak kita jalan-jalan menyerunai ikhtiar penempaan kualitas komunikasi dalam konteks ibadah puasa Ramadan yang kita jalani sebagai hamba Allah SWT.

Komunikasi Transendental

Menurut pakar komunikasi Deddy Mulyana (1999), komunikasi transendental adalah komunikasi antara makhluk dengan Sang Kholik, atau komunikasi hamba dengan Tuhannya. Sederhananya, bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi yang melibatkan manusia dengan Tuhannya.

Lalu, apa korelasinya dengan bulan puasa Ramadan? Sebagaimana pengetahuan umum, dalam bulan puasa ibadah seorang hamba mempunyai kedudukan yang istimewa dengan berlipatnya pahala. Tak mengherankan jika kemudian masa bulan Ramadan intensitas ibadah seseorang meningkat.

Sebagai contoh, salat subuh misalnya, biasanya sering dilaksanakan tidak berjamaah. Pada bulan Ramadan setelah sahur, kita kerap berbondong-bondong pergi ke masjid. Setelah berbuka puasa kita menunaikan salat Isya berjamaah lalu dilanjutkan dengan salat taraweh. Membaca al-Qur’an, terkadang membacanya seminggu sekali dan itu pun hanya pada malam Jumat (kalau tidak lupa). Berbeda halnya bulan Ramadan, dalam sehari saja bisa berkali-kali ditambah aktivitas-aktivitas ibadah yang lainnya.

Disadari ataupun tidak, intensitas ibadah kita ternyata jadi bertambah pada bulan puasa. Momen yang lebih mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Dengan kata lain, kita lebih memiliki waktu berkomunikasi dengan Tuhan. Sebab di luar bulan puasa barangkali kita jarang atau mungkin saja tidak pernah meluangkan waktu dengan alasan-alasan tertentu.

Bila kita benaki-resapi secara seksama, sungguh merupakan kenikmatan yang luar biasa bahkan tiada bandingannya. Sebab pada hakikatnya bahwa puasa sebagai bentuk relasi antara Tuhan dengan seorang hamba. Hingga dalam hadis Qudsi Allah SWT berfirman: “Puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”.

Komunikasi Intrapersonal

Sebagaimana pandangan Effendi (1993), komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang, meliputi berbicara kepada diri sendiri dan aktivitas mengamati dan memberi makna, baik itu intelektual dan emosional kepada lingkungan.

Ketika seorang individu memikirkan sebuah masalah atau proses mengambil keputusan merupakan contoh dari komunikasi intrapersonal. Namun, kerap kita jumpai dan nampak lucu, ketika seseorang memiliki masalah, ia justru akan mencari solusi dengan cara bertemu dan berkomunikasi kepada orang lain yang dianggapnya mampu memberi solusi. Orang lain yang dimaksudkan bisa teman sejawat, tetangga, atau pihak yang lainnya. Cara demikian memang tidak salah tetapi bukan pula jalan yang tepat. Terkadang manusia acap kali lupa bahwa ada “individu” yang seharusnya ia ajak berkomunikasi, yaitu "dirinya sendiri". Metode ini justru vital dalam menentukan langkah seseorang untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

Komunikasi intrapersonal sesungguhnya mempunyai posisi yang menentukan dalam mencapai kulitas "berkomunikasi" dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya kesuksesan berkomunikasi dengan orang lain itu salah satu kuncinya didahului oleh komunikasi yang baik dengan diri sendiri. Barang kali saja, persoalan komunikasi kita yang jelek, karena mungkin komunikasi dengan diri sendiri pun masih jauh dikatakan baik dan benar, atau komunikasi yang efektif.

Bulan puasa Ramadan merupakan momen yang tepat bagi kita untuk memaknai kembali peran “diri” dalam merajut aktivitas komunikasi. Pada bulan puasa, ada banyak waktu yang bisa dimanfaatkan untuk lebih giat memahami dan mengintrospeksi diri terkait apa capaian kehidupan, apa yang sudah dilakukan, apa pula rencana ke depan, dan hal-hal serupa lainnya.

Singkat kata, bulan puasa memberikan kita kesempatan dan waktu luang yang panjang untuk lebih mendalami pemahaman diri pribadi yang mungkin terlupakan dalam sebagian besar waktu yang bisa kita manfaatkan untuk mematangkan pemahaman terhadap diri sendiri.

Komunikasi Interpersonal

Setelah menyerunai komunikasi transendental dan intrapersonal, bulan puasa pun mempunyai suasana tersendiri dalam menempa kualitas komunikasi seseorang dengan sesamanya atau disebut komunikasi interpersonal. Memotivasi banyak ilmuwan komunikasi untuk mengeksplorasinya lebih mendalam bagaimana sebetulnya komunikasi interpersonal menyuluh kita memahami hakikat hidup dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Deddy Mulyana misalnya, seorang pakar komunikasi Indonesia, berpandangan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal.

Jika ditelisik lebih dalam, ketika kita puasa, adakah diri kita bisa lebih melihat sesama lebih humanis? Disadari ataupun tidak, ternyata seseorang bisa lebih ramah kepada orang lain dikala berpuasa, lebih bisa menjaga amarah, lebih bisa mengendalikan diri, lebih mudah bersedekah ketimbang hari biasanya, lebih murah senyum, dan lebih yang lain-lainnya.

Dus, apa relasinya dengan komunikasi? Hakikat puasa sejatinya tidak hanya menahan makan, minum, dan berhubungan badan (batiniah/fisik), tapi juga menahan atau mengontrol batiniah (nafsu).

Sejatinya, dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita hendaknya bisa menahan nafsu, sebagaimana puasa mengajari demikian. Jadi, puasa adalah proses edukasi untuk lebih bisa menahan amarah, lebih bisa memahami posisi dan situasi orang lain, maupun lebih bisa pula menghargai orang lain.

Maka, puasa sebagai momentum kita menakar seberapa presisi kualitas dari aktivitas komunikasi, baik komunikasi transendental, komunikasi intrapersonal maupun komunikasi interpersonal. Bagaimanapun, komunikasi mempunyai tempat yang vital sekaligus strategis dalam kehidupan kita. Mari jadikan puasa sebagai sekolah untuk belajar kembali makna komunikasi dalam kehidupan. Semoga. (**)

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close