Breaking News

Opini Didin Maninggara tentang Pers dan Wartawan Era Peradaban Digital (2)

 
Jadilah Wartawan Karena Keterpanggilan Jiwa


Media pers berbasis internet semakin menjamur di tengah arus deras globalisasi informasi. Itulah yang menandai era peradaban baru. Yang juga disebut peradaban digital berbasis internet.

Seiring era tersebut, muncul fenomena baru. Yakni, semua orang bisa menjadi wartawan. Lewat berbagai platform medsos (facebook, instagram, twetter dan you tube). Siapa pun bisa tampil dan bicara di depan publik. Bisa menyebarkan informasi atau berita kepada publik.

Tokoh-tokoh dari berbagai profesi dan kalangan, termasuk pejabat pemerintah, dari pusat sampai daerah, tak perlu lagi jumpa pers. Tak perlu lagi undang wartawan. Mereka cukup cuit lewat twitter atau Instagram. Atau di You Tube dan  Facebook untuk merilis berita. Kemudian wartawan mengutip dari medsosnya mereka. Diramu sedemikian rupa. Diperkuat referensi lain, dari sumber lain yang kompeten. Maka, jadilah berita pada media tempat masing-masing wartawan itu bekerja.

Mencari berita, seperti menghirup angin, ada di mana-mana. Di mana saja, tinggal buka medsos atau portal online yang menjamur. Semua orang bisa memberi kabar, serta semua orang memiliki media itu sendiri.

Kini, otoritas memberi kabar, atau berita, sejatinya bukan lagi hanya milik wartawan. Tapi, milik semua orang.

Karena itulah salah satu pasal sekunder, bahwa menjadi wartawan sekaligus mendirikan media pers itu mudah. Bahkan sangat mudah. Cukup mendirikan perusahaan khusus berbentuk PT, kemudian susunan pengelola meliputi bidang redaksional dan manajemen. Maka, jadilah sebuah perusahaan pers lengkap dengan pemimpin redaksi dan wartawannya.

Jika pendirian media itu dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang sejatinya berprofesi wartawan. Maka, dalam perjalanan media itu dapat dipastikan mengemban cita-cita menjalankan peranan pers dengan sebaik-sebaiknya. Berdasarkan kebebasan pers yang bertanggung jawab, dengan menjunjung tinggi profesionalitas dan integritas, sesuai Kode Etik  Jurnalistik sebagai pedoman moral wartawan dan amanat Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai landasan hukum.

Begitu pula sebaliknya. Pendirian media pers oleh bukan wartawan, alias jadi wartawan dadakan tanpa karena keterpanggilan jiwa untuk mengemban misi pers. Maka, kacaulah dunia wartawan. Sebab, jati diri media dan pers seperti itu dirusak oleh oknum-oknum wartawan dadakan atau wartawan jadi-jadian.

Sebagai jurnalis pertama kali di Koran PELITA pada Juni 1979 di Jakarta, khususnya Banten dan Jawa Barat yang ditempa melalui pelatihan sangat ketat dan terus menerus, saya prihatin pada dunia wartawan yang masih banyak diisi oleh oknum-oknum wartawan dadakan.

Saya meyakini, media online seperti itu tidak mampu mengemban misi pers. Karena wartawannya tidak dibekali keterpanggilan jiwa serta semangat jurnalis yang begitu kental dan naluri wartawan yang begitu dalam.

Keterpanggilan jiwa jurnalis itu memantulkan emosi. Emosi adalah tekad yang akan menjadi pendorong seorang wartawan memproduksi berita yang mencerdaskan dan mencerahkan.

Wartawan yang baik adalah pada karya tulisannya yang bisa mengaduk-aduk perasaan pembaca. Seperti layaknya menikmati masakan di sebuah restoran. Atau di sebuah warung pinggir jalan. Menggoda rasa. Ingin membaca, dan terus ingin membaca. (Bersambung ke episode 3).

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close