Breaking News

34.500 Kematian di Indonesia Disebabkan AMR

BBPOM di Mataram
(Dari Kanan) Kepala BBPOM di Mataram Yosef Dwi Irawan bersama Kepala Dikes Provinsi NTB, Dr. dr. H. Lalu Hamzi Fikri, MM, MARS.

Mataram (postkotantb.com)- Anti Microbial Resistance (AMR) memberikan kontribusi besar terhadap angka kematian di Indonesia. Sesuai data University of Washington bahwa tahun 2019, angka kematian di Indonesia yang disebabkan AMR mencapai 34.500 jiwa dan 133.800 kematian yang terkait langsung dengan AMR.

Jumlah ini menempatkan Indonesia pada urutan ke 78 dari 204 negara. Dan No 5 di Asia Tenggara, dengan angka kematian tertinggi yang terkait dengan AMR. Kepala BBPOM di Mataram, Yosef Dwi Irawan menyebutkan, AMR tidak hanya berdampak kepada manusia.

"AMR juga berdampak kepada hewan, perikanan, pertanian, dan lingkungan, yang bersumber dari manusia," sebut Yosef saat Ngobrol Santai bersama awak media, di Aula BBPOM di Mataram, Rabu (03/07) sore.

Dijelaskan Yosef, AMR atau disebut 'Silent Pandemi',  merupakan suatu kejadian ketika virus dan bakteri tidak lagi mempan terhadap antibiotik. Faktor pemicu resistensi antibiotic terdiri dari 2 yaitu Faktor dari produk antibiotik itu sendiri dan factor dari perilaku manusia.

Faktor dari produk adalah apabila produk antibiotic yang digunakan adalah produk yang tidak memenuhi ketentuan mutu (substandard), produk rusak atau bahkan palsu dan faktor dari perilaku manusia.

Antara lain Resep tidak Rasional dan Penggunaan Antimikroba tanpa Resep Dokter; Konsumsi Antimikroba tidak sesuai ketentuan; Membuang Antimikroba sembarangan; serta penggunaan antimikroba pada hewan yang tidak sesuai ketentuan.

Upaya pengendalian AMR, kata Yosef, harus melibatkan multisektor (one health approach), yang melibatkan sektor manusia, hewan dan lingkungan.

Pada level global, World Health Organization (WHO), telah menerbitkan langkah-langkah strategis pengendalian AMR dalam bentuk Global Action Plan on AMR.

Sedangkan Indonesia, telah diterbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 07 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Antimikroba (RAN-PRA), tahun 2020 - 2024.

Dimana melibatkan lintas Lembaga dan lintas Kementerian yaitu Kemkes, BPOM, Kementan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup. BPOM pun telah memiliki Peta Jalan Rencana Aksi Pengendalian AMR di Lingkungan BPOM periode tahun 2020–2024, dan membentuk Tim Khusus Pengendalian AMR.

Dengan melibatkan juga Unit Pelaksana Teknis BPOM di seluruh Indonesia. Sebaliknya, pengendalian AMR yang diinisasi BPOM berfokus pada 2 aspek. Yaitu pada aspek pengawasan pre-market dan post-market. Pada aspek pengawasan pre-market, BPOM menerbitkan pedoman penilaian antibiotik dan evaluasi registrasi antibiotik.

Sementara pada aspek pengawasan post-market dilakukan melalui pengawasan pengelolaan antimikroba di sarana produksi, distribusi, dan sarana pelayanan kefarmasian, sampling dan uji mutu, bimbingan teknis kepada pelaku usaha, serta edukasi kepada masyarakat.

Dari hasil pengawasan UPT Badan POM seluruh Indonesia, lebih dari 70% sarana Apotek, masih ditemukan menyerahkan antibiotic tanpa resep dokter, dan di wilayah BBPOM Mataram sendiri angka tersebut bahkan mencapai lebih dari 90%. Profil antibiotic yang paling banyak diserahkan tanpa resep dokter secara nasional antara lain Amoksisilin, Cefadroxil dan Cefixim.

Berdasarkan hasil pengawasan tersebut, maka Kepala BBPOM di Mataram dan Kepala Dinas Kesehatan (Dikes) Provinsi NTB sepakat bahwa salah satu Langkah pencegahan resistensi antimikroba adalah dengan menghentikan penggunaan antibiotic yang tidak rasional yaitu dengan menertibkan penyerahan antibiotik hanya dengan resep dokter.

"Kunci keberhasilan Langkah pencegahan resistensi antimikroba ini adalah adanya keterlibatan dan komitmen seluruh pihak. Baik Pemerintah, tenaga Kesehatan maupun masyarakat," terangnya.

Bersama dengan Kementerian Pertanian, BBPOM melakukan join inspection terhadap sarana yang mengelola obat/bahan obat yang digunakan pada manusia dan hewan. Selain itu BBPOM di Mataram, sejak tahun 2022, telah melakukan advokasi dan koordinasi untuk menggalang komitmen bersama lintas sektor terkait.

Seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, Organisasi Profesi (IAI, IDI, IBI dan PPNI) serta pihak akademisi untuk bergerak bersama-sama mencegah resistensi antimikroba, khususnya di wilayah NTB. Selain itu, masyarakat dapat berperan aktif dalam memberikan solusi terhadap pencegahan pertumbuhan resistensi antibiotik.

Cegah Resitensi Antimikroba dengan 4T – Tidak membeli antimikroba tanpa resep dokter; Teruskan pengobatan dengan antimikroba yang diresepkan, walaupun keadaan telah membaik; Tidak membuang antimikoba rusak/kedaluwarsa sembarangan; Tegur dan laporkan jika mengetahui ada pihak atau sarana lain yang menjual antimikroba sembarangan atau tanpa resep dokter

"Mari kita tingkatkan kepedulian dan kesadaran untuk bijak dalam penggunaan dan pengendalian antimikroba sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari timbulnya penyakit, menuju Indonesia Emas 2045," ajak Kepala BBPOM di Mataram.

Selalu Cek KLIK (cek Kemasan, cek Label, cek Izin Edar, dan cek Kedaluwarsa) ketika akan membeli atau mengonsumsi produk Obat dan Makanan. Untuk memastikan produk pangan telah terdaftar, masyarakat dapat memanfaatkan aplikasi BPOM Mobile yang dapat diunduh melalui play store (Android) atau App store (iOS).

Apabila masyarakat memerlukan informasi lebih lanjut atau menyampaikan pengaduan, dapat menghubungi lapor.go.id, Contact Center HALOBPOM 1-500-533 (pulsa lokal), WhatsApp 0878-71500-533, e-mail bpom_mataram@pom.go.id, Instagram @bpom.mataram, Facebook Fanpage @bpom.mataram, atau Twitter @bpommataram.(RIN)

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close