Breaking News

WNA asal Kanada Kecewa Penerjemah Tak Berlisensi Dihadirkan di Persidangan, Ada apa dengan Jaksa?

Kasus KDRT WNA asal Kanada di Gili Air
SIDANG DITUNDA: Muhammad Syarifuddin, SH., MH., selaku Direktur LBH Persadin NTB, sekaligus Penasehat Hukum bersama dua rekannya Sahrul, SH., MH., serta  Lukman Aprizal, SH., dan kliennya, WNA asal Kanada, Frederic Raby alias Fredy usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Kamis (17/07/2025). Ist

Mataram (postkotantb.com)- Sidang Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan terdakwa Warga Negara Asing (WNA) asal Kanada, Frederic Raby alias Fredy dengan nomor perkara: 384/Pid.sus/2025/PN. Mtr, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Kamis (17/07/2025). Dengan agenda mendengarkan kesaksian para saksi dan pembuktian.

Sayangnya, sidang tersebut ditunda Hakim Ketua, Isrin Surya Kurniasih, SH., MH., lantaran ahli bahasa yang dihadirkan di ruang sidang sebagai penerjemah, tidak mengantongi surat kuasa dari lembaga yang menaungi sekaligus lisensi berupa sertifikat ahli bahasa. Atas hal tersebut, Direktur LBH Persadin NTB sekaligus sebagai Penasehat Hukum Freddy, Muhammad Syarifuddin, SH. MH.,  merasa sangat kecewa.

Padahal pada sidang perdana yang digelar pekan sebelumnya, Majelis Hakim telah memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mempersiapkan ahli bahasa yang berlisensi dan tentunya membawa surat kuasa. Sehingga segala persiapan yang telah dilakukannya, mulai dari saksi maupun bukti terkesan sia-sia.

"Klien kami ini WNA sehingga wajib untuk menghadirkan translator yang bersertifikat dan surat kuasa. Kami sangat kecewa sekali, persiapan yang kami lakukan sia-sia, dan kayaknya ini disengaja," tegas Syarifudin usai sidang bersama dua rekannya, Sahrul, SH., MH, dan Lukman Aprizal, SH.

Hal ini kian menguatkan kecurigaan bahwa penerjemah tanpa lisensi sengaja dihadirkan dengan maksud menghambat jalannya tahapan persidangan kliennya. Faktanya, tanggung jawab berupa penerjemah yang berlisensi yang dibebankan majelis hakim tidak dijalankan jaksa.

"Ini seperti jaksa belum pernah ikut beracara atau jaksa magang. Kok hal yang seperti tidak dilaksanakan dengan baik sama jaksa. Tentunya persidangan WNA harus ada ahli Bahasa," timpal pria ini.
 
Senada kekecewaan yang diungkapkan Freddy. Diakui bahwa sebelumnya, dirinya juga kecewa. Kala kasusnya baru dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram,  statusnya dengan Saksi Pelapor, Emma Sri Rahayu sama-sama sebagai tersangka atas kasus yang sama dan menjadi tahanan kota.

Akan tetapi, Emma terciduk tidak dipasangkan gelang kaki GPS sebagai alat pemantau elektronik pada tahanan kota, begitu juga dengan persoalan penerjemah. Apa yang menjadi perintah hakim terkesan diabaikan. Ia lantas menyoroti seperti apa kinerja jaksa, sehingga hal-hal yang seperti itu terjadi.

"Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, (Kinerja Jaksa,red) kenapa begini," keluhnya.


Win-Win Solution


Sidang kasus KDRT WNA asal Kanada digelar bersamaan dengan sidang saksi pelapor Ema Sri Rahayu. Namun dengan status terdakwa atas kasus KDRT yang dilaporkan Freddy. Sidangnya pun ditunda dan lagi-lagi dengan persoalan yang sama yaitu, penerjemah tanpa lisensi. 

Kendati demikian, pihak Ema tampak menanggapi penundaan sidang sebagai hal yang lumrah. "Sesuai ketentuan KUHP, memang seorang penerjemah harus punya surat kuasa/tugas. Kalau tidak, melanggar hukum acara," ujar Penasehat Hukum Ema, Ir. Luhut Simanjuntak, SH.

Ia kembali menegaskan bahwa kasus Ema dan Freddy merupakan persoalan rumah tangga yang tidak harus berakhir di meja hijau. Tidak menutup kemungkinan pihaknya juga akan menempuh upaya-upaya lain dalam rangka menemukan win-win Solution untuk kedua belah pihak. 

"Sebenarnya ini persoalan pertengkaran dalam rumah tangga, itu saja. Kalau saya ingin semuanya win-win solution lah," jelasnya.


Pewarta: Syafrin Salam. 

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close