Breaking News

Sejarah Seakan Mengulang dengan Kondisi yang Lebih Dramatis!

Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School
Abah Muazar Habibi (back ground Kantor DPRD NTB Terbakar,red). IST


Abah Muazar Habibi:
Mantan Aktivis 98 sekarang sebagai Mudirul Aam Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School 


Gelombang perubahan sosial-politik yang terjadi saat ini terasa lebih mengerikan dibandingkan eskalasi 1998. Pada masa reformasi, Gerakan ’98 membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk mencapai titik puncaknya dimulai dari kasus Busang di Kalimantan tahun 1996, hingga akumulasi kemarahan yang meledak pada Mei 1998. 

Namun, rangkaian peristiwa yang terjadi pada Agustus 2025 memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih cepat, lebih padat, dan lebih berbahaya: hanya dalam hitungan kurang dari satu minggu, eskalasi besar sudah terbentuk. Inilah yang membedakan situasi sekarang dengan masa lalu. 

Jika 1998 adalah ledakan akibat proses panjang, maka 2025 adalah badai instan yang menyapu tanpa jeda. Krisis ini bukan lagi sekadar tentang satu figur seperti Affan Kurniawan yang sempat jadi sorotan, melainkan tentang akumulasi sepuluh tahun penderitaan rakyat di bawah rezim Jokowi. Sepuluh tahun penuh luka, kekecewaan, dan tekanan, kini meledak menjadi satu.

Namun, penderitaan ini tidak berdiri sendiri. Rakyat merasa dikhianati bukan hanya oleh eksekutif, tetapi juga oleh anggota DPRD, DPR RI, serta para pejabat negara yang seharusnya menjadi wakil dan pelindung kepentingan masyarakat. Alih-alih peka terhadap kondisi rakyat yang semakin terhimpit, mereka justru larut dalam kepentingan politik, perebutan kekuasaan, dan agenda pribadi. Ketidakpekaan itu menjadi bahan bakar tambahan yang menyulut amarah publik.

Tak kalah penting, akumulasi kekecewaan rakyat terhadap perilaku aparat kepolisian juga menjadi bara yang terus membara. Selama bertahun-tahun, polisi kerap dianggap arogan, represif, dan jauh dari fungsi melindungi rakyat. Semua itu menumpuk menjadi gunung ketidakpercayaan. 

Dan akhirnya, percikan terakhir yang meledakkan segalanya datang secara tragis: peristiwa ketika sebuah Rantis Brimob melindas seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan. Insiden ini bukan hanya memicu kemarahan instan, tetapi juga menjadi simbol betapa rendahnya nyawa rakyat di mata kekuasaan.

Di tengah situasi panas ini, ada bahaya lain yang mengintai: anasir-anasir politik yang ingin memanfaatkan kegaduhan untuk menggulingkan Presiden Prabowo, lalu mendorong Gibran sebagai penggantinya. Skenario semacam ini justru akan membuka pintu menuju malapetaka yang jauh lebih besar bagi negeri ini. 

Rakyat tidak butuh permainan elit politik yang hanya mengganti wajah kekuasaan tanpa menyelesaikan akar persoalan. Jika hal itu sampai terjadi, bukan hanya krisis sosial yang makin dalam, tetapi masa depan bangsa pun bisa runtuh dalam kekacauan yang lebih parah. Seluruh tatanan sosial pun tampak runtuh. Rasa percaya publik terhadap institusi hancur, solidaritas rakyat retak, dan kesenjangan semakin nyata. 

Bukan hanya soal politik, melainkan sebuah kehancuran menyeluruh: ekonomi yang pincang, hukum yang lumpuh, dan masyarakat yang kehilangan arah. Gelombang ini adalah jeritan kolektif dari rakyat yang merasa tidak ada lagi ruang untuk bertahan, melainkan hanya untuk melawan. Sejarah seakan mengulang dirinya, tetapi dalam tempo yang lebih cepat, lebih brutal, dan lebih tak terduga. 

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close