Mataram (postkotantb.com) - Tim penasihat hukum Isabel Tanihaha yang diwakilkan oleh Dr Defika Yufiandra, SH.,MKn., Muhammad Ihwan, SH.,MH., Burhanudin SH.,MH., Ina Maulina, SH., dan Fadhli al Husaini, SHI.,MH., meminta majelis hakim membebaskan terdakwa Isabel Tanihaha dari segala dakwaan, karena tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dakwaan primair dan subsidair.
“Berdasarkan argumentasi dan analisis secara objektif-yuridis mengenai fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kami selaku penasihat hukum terdakwa memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan terdakwa Isabel Tanihaha bebas dari hukuman (vrijspraak,red) atau setidak-tidaknya lepas dari segala tuntutan (onslaag van alle recht vervolging,red) dan segala kewajiban untuk membayar denda sebagaimana yang dicantumkan dalam tuntutan,” desak Defika Yufiandra dkk dalam persidangan dengan agenda pembacaan pembelaan di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat (03/10/2025).
Dijelaskan, yang menjadi poin penting dalam perkara ini yaitu tanah yang terletak di Desa Gerimak Kabupaten Lombok Barat, yang saat ini terdaftar dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 1 seluas 47.921 meter persegi dan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2 seluas 36.079 meter persegi atas nama PT. Tripat dengan total keduanya seluas 84.000 meter persegi.
Tanah menjadi objek perjanjian kerjasama operasional antara PT. Tripat dengan PT. Bliss Pembangunan Sejahtera yang saat ini dipersalahkan oleh penuntut umum dan dianggap menimbulkan kerugian keuangan negara. “Penuntut umum berpendapat tanah objek KSO sekalipun merupakan tanah aset BUMD, karena telah terjadi penyertaan modal Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. Namun pengelolaannya tetap tunduk dan patuh pada ketentuan dan aturan pengelolaan barang milik daerah,” ujarnya.
Padahal dengan terjadinya penyertaan modal telah mengubah status hukum tanah yang tidak lagi merupakan barang atau aset milik daerah. Tentunya, pengelolaannya tidak lagi tunduk dan patuh pada ketentuan dan aturan pengelolaan barang milik daerah. “Fakta yang tidak terbantah, tanah yang terletak di Desa Gerimak Indah milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Kemudian, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2010 tentang Penyertaan Modal Kabupaten Lombok Barat pada BUMD dan Badan Hukum lainnya, tanah tersebut ditetapkan sebagai bagian dari penyertaan modal pada BUMD,” tegasnya.
Follow up dari penyertaan modal tersebut baru dilaksanakan pada tahun 2013 yang dibuktikan dengan Surat Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor 1324/16.A/KAD/2013 tertanggal 14 Mei 2013 tentang Penghapusan Barang Milik Daerah Kabupaten Lombok Barat, sebagai Bentuk Penyertaan Modal PT. Tripat. Surat Keputusan tersebut sebelumnya telah mendapat restu dan persetujuan dari DPRD Kabupaten Lombok Barat yang dituangkan dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupatem Lombok Barat Nomor 07/KEP./DPRD/2013 tanggal 07 Mei 2013.
Saksi Mahnan selaku mantan Kepala Kantor Aset Daerah Kabupaten Lombok Barat di persidangan menegaskan, objek tanah 84.000 M² di Desa Grimak Kecamatan Narmada setelah dilakukan penyertaan modal, dihapus dari daftar aset pemerintah daerah Kabupaten Lombok Barat dengan dasar SK Bupati Nomor 1324/16.A/KAD/2013 tertanggal 14 Mei 2013 tentang Penghapusan Barang Milik Daerah Kabupaten Lombok Barat sebagai Bentuk Penyertaan Modal PT TRIPAT.
Setelah terbitnya Surat Keputusan tersebut, dilakukan tindak lanjut untuk melakukan pendaftaran aset tersebut pada BPN Kabupaten Lombok Barat. Berdasarkan Surat Keputusan sehubungan dengan penyertaan modal tersebut, didaftarkanlah tanah itu atas nama PT Tripat yang kemudian dikenal dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 1 seluas 47.921 M², dan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2 seluas 36.079 M² atas nama PT Tripat.
Hal ini membantah persepsi dan asumsi Penuntut Umum soal kepemilikan tanah setelah penyertaan modal. Tanah tersebut sudah beralih menjadi hak dan kepemilikan dari BUMD PT Tripat. Sebagai gantinya, kekayaan dari Pemerintah Daerah Kab. Lombok Barat adalah saham sebesar 99% sebagai bagian kekayaan yang dipisahkan. Sedangkan, uang Rp2.638.000.000 ditambah tanah 84.000 M² yang terletak di Gerimak Indah, Lombok Barat menjadi milik PT Tripat.
“Bahwa dengan demikian pemahaman dari Penuntut Umum yang tetap bersikeras menyatakan tanah yang dijadikan penyertaan modal in casu tetap barang milik negara/daerah adalah sangat keliru. Tanah telah beralih kepemilikan menjadi haknya PT Tripat sebagai penerima penyertaan modal. Yang dihitung sebagai kekayaan negara dalam hal ini adalah saham kepemilikan PT Tripat sebesar 99% sebagai bagian dari Kekayaan Negara/daerah yang dipisahkan,” tambahnya.
Ditegaskannya lagi, sebagai tindak lanjut dari penyertaan modal itu juga, PT. Tripat selanjutnya mendaftarkan objek tanah yang dijadikan penyertaan modal kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat hingga saat ini telah diterbitkan Sertifikat Hak Bangunan Nomor 1 dan Hak Guna Bangunan Nomor 2 atas nama PT. Tripat.
Dengan terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas objek tanah tersebut semakin mempertegas status hukum dari objek tanah yang tidak lagi menjadi bagian barang milik daerah, melainkan aset milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang tunduk dan patuh pada ketentuan perundang-undangan tentang perseroan terbatas (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
Ditegaskan juga, KSO antara PT. TRIPAT dengan PT. BPS yang di dalam dokumen perjanjian tidak terdapat klausul masa waktu atau jangka waktu perjanjian, tidaklah merupakan sebuah pelanggaran atau perbuatan melawan hukum sekalipun. Perjanjian KSO in casu telah dibuat berdasar pada kesepakatan bersama antara PT. Tripat dan PT. BPS yang telah memenuhi syarat-syarat sah perjanjian.
Sehingga apa yang disepakati dalam perjanjian tersebut berlaku sebagai hukum dan undang-undang pada pihak yang ada dalam perjanjian. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar berkenaan dengan jangka waktu perjanjian, maka sesungguhnya tidak ada perbuatan melawan hukum yang terjadi.
Ditegaskan pula tidak ada pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dapat dipidanakan dalam tindak pidana korupsi, sehubungan dalam jangka waktu perjanjian. Karena soal jangka waktu, murni soal kesepakatan keperdataan yang penyelesaian dan pengakhirannya melalui mekanisme perdata jika memang ada sengketa. Dengan demikian, perjanjian KSO yang tidak mencantumkan jangka waktu perjanjian secara eksplisit, bukanlah sebuah kesalahan.
Sehingga perjanjian KSO berlaku secara sah dan mengikat sebagai hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya. Terkait kontribusi, dalam KSO antara PT. Tripat dan PT. Bliss Pembangunan Sejahtera menggunakan pembagian hasil keuntungan usaha yang besarannya disepakati dan dituangkan dalam perjanjian. Pembagian keuntungan tersebut baru dapat diterima jika memang usaha berjalan lancar dan mendapat laba/keuntungan.
Tidak ditetapkannya kontribusi tetap dalam KSO bukanlah sebuah pelanggaran atau perbuatan melawan hukum, karena sebagai badan hukum privat dan perjanjian yang dibuat business to business maka tidak ada kewajiban atau tidak tunduk pada aturan Pasal 26 ayat (1) huruf c, d dan e PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah diubah dengan PP Nomor 38 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan barang milik negara/daerah.
Sementara dakwaan dan tuntutan, Penuntut Umum menjadikan ketiadaan kontribusi tetap sebagai bagian kerugian yang diderita negara adalah keliru karena menerapkan aturan hukum yang tidak relevan dengan perbuatan dan objek yang diperiksa. Jika kontribusi tetap yang disebutkan penuntut umum tetap dibebankan dalam KSO yang tidak memiliki dasar hukum, artinya pemerintah meminta pungutan kepada investor atau badan hukum yang bekerjasama dengan BUMD secara paksa.
Sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan untuk pembayaran atau pungutan tersebut, maka sama halnya pemerintah melakukan pungutan liar.
Tim penasihat hukum juga menegaskan sepakat barang milik negara/daerah tidak boleh dijadikan jaminan hutang. Lain hal jika yang dijadikan jaminan hutang adalah aset yang dimiliki badan hukum privat termasuk BUMN/BUMD, tidak ada aturan hukum manapun yang mengatur larangan menjadikan aset milik BUMN/BUMD sebagai jaminan hutang, aturan yang disebutkan di atas hanya berlaku dan mengikat objek tanah, barang atau aset milik negara/daerah.
Tetapi aturan tersebut tidak dapat diterapkan pada barang milik BUMD PT Tripat. Kemudian pada aturan hukum Perseroan Terbatas maupun Peratuan Pemerintah Tentang BUMD sekalipun, tidak ada larangan untuk menjadikan objek milik BUMD sebagai jaminan hutang. Oleh sebab itu, penjaminan objek tanah milik PT Tripat untuk memperoleh modal usaha pembangunan superblock LCC di Lombok Barat yang terjadi dibenarkan sah secara hukum.
Penasihat hukum juga membantah dalil kerugian negara yang disebutkan oleh Penuntut Umum akibat penjaminan ini karena tidak berdasar. Pasalnya objek tanah milik PT Tripat yang dijadikan jaminan hutang masih utuh, tidak berkurang melainkan bertambah nilai karena ada bangunan di atasnya, tidak terjadi peralihan hak kepada pihak lain, tidak dilakukan pelelangan umum oleh perbankan, maka tidak ada kekurangan kekayaan dari PT Tripat.
Kerugian yang disebut oleh Penuntut Umum jika tanah sebagai jaminan hutang dilakukan atau dieksekusi lelang oleh perbankan (potential loss). Potential loss belum dianggap kerugian Negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, sehingga kerugian demikian tidak memenuhi unsur pasal tentang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Apalagi penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan Penuntut Umum dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), dan sebagaimana yang terungkap pada fakta persidangan KAP yang bekerjasama dengan Penuntut Umum hanya melakukan pemeriksaan dengan data yang diperoleh dari Penuntut Umum tanpa melakukan klarifikasi secara menyeluruh.
Bahwa Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945, yang dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, secara eksplisit menyatakan bahwa satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Terungkap pada fakta persidangan kenapa Penuntut Umum tidak menggunakan BPK untuk membuktikan telah terjadinya kerugian keuangan negara," timpalnya.
Sebagaimana keterangan dari Ahli Hernold F Makawimbang menurutnya birokrasi yang berbelit dan panjang membuat penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak efektif. Anggapan demikian sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahli Hernol F Makawimbang tersebut merupakan pandangan yang sangat subjektif dan tidak memiliki pijakan dan dasar hukum yang jelas.
Alasan demikian, semakin memperlihatkan bahwa penegakan dalam kasus ini tidak didasarkan pada semangat mencari kebenaran, melainkan nafsu untuk menghukum seseorang secara sewenang-wenang dengan memanfaatkan euforia publik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sekalipun memang dapat dibolehkan unsur lembaga lainnya atau Kantor Akuntan Publik melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, namun harus dilakukan secara profesional dan independen berpedoman pada Peraturan BPK dan Standard Penghitungan Keuangan Negara (SPKN).
Sementara fakta yang terungkap di persidangan, Auditor dan Tenaga Ahli yang digunakan oleh Penuntut Umum tidak memiliki sertifikat keahlian yang dikeluarkan oleh BPK. Ahli Dr. Eko Sembodo, SE.,MM., laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Auditor Akuntan Publik yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2022 tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenaran dan tidak layak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pemeriksaan perkara ini.
Toh, dalam perkara ini tidak terdapat kerugian keuangan negara, tidak hanya karena audit pemeriksaan yang tidak memenuhi standard dan cacat prosedural. “Kesimpulan tidak adanya kerugian negara, penasihat hukum nyatakan karena memang dalam perkara initidak ada kesalahan atau perbuatan melawan hukum yang pantas dianggap dan menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Penuntut Umum dalam menyimpulkan telah terjadi kerugian keuangan negara berdasarkan argumentasi hukum yang keliru dan menggunakan ketentuan hukum yang tidak relevan,” tambah Ina Maulina, Tim Penasihat Hukum lainnya.
Disebutkan dia, ada dua poin penting yang di duga oleh Penuntut Umum menyebabkan kerugian keuangan negara. Yaitu tidak adanya kontribusi tetap dan objek tanah milik PT Tripad berpotensi dilakukan penyitaan oleh perbankan. Sementara Kerjasama Pemanfaatan atau KSO merupakan perjanjian Business to Business (B to B), sehingga keduanya memiliki kehendak bebas dalam menentukan model kerjasama yang akan dilakukan, dan apapun klausul hak dan kewajiban menjadi kewenangan keduanya dalam membuat kesepakatan.
Kemudian objek yang dikerjasamakan pun, bukanlah barang milik negara/daerah, sehingga tidak ada aturan dan batasan teknis yang lebih khusus patut untuk dicantumkan dalam klausul perjanjian. Bahwa sebut saja kewajiban pembayaran kontribusi tetap setiap tahunnya selama masa pelaksanaan perjanjian, dalam perjanjian B to B tidak ada kewajiban untuk menetapkan kontribusi demikian, melainkan kedua pihak dapat membuat model sendiri pembagian keuntungan dalam kerja sama yang akan dibuat.
Kerugian akibat tidak adanya kontribusi tetap yang dibayarkan kepada pemerintah, tidak dapat dipersalahkan, karena dalam KSO hak keuntungan bagi BUMD diperoleh dari pembagian laba/keuntungan hasil usaha. “Logika Penuntut Umum yang memaksa agar dicantumkan pungutan kontribusi tetap padahal tidak ada kewajiban hukumnya disana, dapat dianggap sebagai pungutan tanpa dasar hukum atau pungutan liar,” tegasnya.
Terkait objek tanah yang dikhawatirkan dilakukan penyitaan dan lelang oleh perbankan dan berpotensi merugikan keuangan negara adalah hal yang keliru karena berbasis pemikiran dan logika yang keliru. Sama halnya dengan persoalan sebelumnya mengenai kontribusi tetap, yakni tetap secara keliru menganggap objek perjanjian sebagai barang milik negara/daerah.
PT Tripat sejatinya merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan adanya KSO, karena akibat pelaksanaan KSO tersebut, nilai aset tanah melonjak secara signifikan, jauh melampaui nilai perolehannya.Saat ini nilai jual objek tanah SHGB Nomor 1 dan 2 tersebut telah meningkat tajam. Dalam appraisal yang dilakukan PT Bank Sinarmas nilai tanah tersebut saat ini telah bernilai ± Rp.100.000.000.000,-.
Artinya, ada peningkatan nilai ekonomis dari sebelumnya senilai Rp. 22.000.000.000,- (sesuai dengan nilai pada penyertaan modal PT Tripat).Peningkatan nilai tersebut, menunjukkan PT TRIPAT tidak lah rugi melainkan untung. Kemudian, sesuai dengan Keterangan Prof Dr Jumardin, SH.,MH dan Dr Hendri Julian Noor, SH.,MKn, apabila objek tersebut dilelang, maka hasil lelang yang diterima oleh si Pemegang Hak Tanggungan (PT Bank Sinarmas) sebanyak Akta Pengikatan Hak Tanggungan (APHT) tahun 2014 yang ditanda-tangani oleh PT Tripat (Rp.95.000.000.000,-).
Sementara, berdasarkan keterangan Saksi dari pihak PT. Bank Sinarmas yakni ANDRIAN LUKITO, EKAJAYA ONGNY PUTRA, EUNIKA KUSUMA menyatakan Appraisal pada tahun 2017 terhadap objek tanah SHGB Nomor 1 dan bangunan di atasnya senilai ±Rp. 350.000.000.000,- (tiga ratus lima puluh milyar). Maka apabila dilakukan lelang yang menjadi hak PT Bank Sinarmas adalah Rp. 95.000.000.000 (sesuai APHT), sementara sisanya menjadi hak dan diserahkan pada PT TRIPAT. Artinya, tidak dapat dikatakan PT Tripat rugi dalam melakukan penjaminan atas aset tersebut.
Pewarta: Syafrin Salam/TIM
“Berdasarkan argumentasi dan analisis secara objektif-yuridis mengenai fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kami selaku penasihat hukum terdakwa memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan terdakwa Isabel Tanihaha bebas dari hukuman (vrijspraak,red) atau setidak-tidaknya lepas dari segala tuntutan (onslaag van alle recht vervolging,red) dan segala kewajiban untuk membayar denda sebagaimana yang dicantumkan dalam tuntutan,” desak Defika Yufiandra dkk dalam persidangan dengan agenda pembacaan pembelaan di Pengadilan Tipikor Mataram, Jumat (03/10/2025).
Dijelaskan, yang menjadi poin penting dalam perkara ini yaitu tanah yang terletak di Desa Gerimak Kabupaten Lombok Barat, yang saat ini terdaftar dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 1 seluas 47.921 meter persegi dan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2 seluas 36.079 meter persegi atas nama PT. Tripat dengan total keduanya seluas 84.000 meter persegi.
Tanah menjadi objek perjanjian kerjasama operasional antara PT. Tripat dengan PT. Bliss Pembangunan Sejahtera yang saat ini dipersalahkan oleh penuntut umum dan dianggap menimbulkan kerugian keuangan negara. “Penuntut umum berpendapat tanah objek KSO sekalipun merupakan tanah aset BUMD, karena telah terjadi penyertaan modal Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. Namun pengelolaannya tetap tunduk dan patuh pada ketentuan dan aturan pengelolaan barang milik daerah,” ujarnya.
Padahal dengan terjadinya penyertaan modal telah mengubah status hukum tanah yang tidak lagi merupakan barang atau aset milik daerah. Tentunya, pengelolaannya tidak lagi tunduk dan patuh pada ketentuan dan aturan pengelolaan barang milik daerah. “Fakta yang tidak terbantah, tanah yang terletak di Desa Gerimak Indah milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Kemudian, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2010 tentang Penyertaan Modal Kabupaten Lombok Barat pada BUMD dan Badan Hukum lainnya, tanah tersebut ditetapkan sebagai bagian dari penyertaan modal pada BUMD,” tegasnya.
Follow up dari penyertaan modal tersebut baru dilaksanakan pada tahun 2013 yang dibuktikan dengan Surat Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor 1324/16.A/KAD/2013 tertanggal 14 Mei 2013 tentang Penghapusan Barang Milik Daerah Kabupaten Lombok Barat, sebagai Bentuk Penyertaan Modal PT. Tripat. Surat Keputusan tersebut sebelumnya telah mendapat restu dan persetujuan dari DPRD Kabupaten Lombok Barat yang dituangkan dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupatem Lombok Barat Nomor 07/KEP./DPRD/2013 tanggal 07 Mei 2013.
Saksi Mahnan selaku mantan Kepala Kantor Aset Daerah Kabupaten Lombok Barat di persidangan menegaskan, objek tanah 84.000 M² di Desa Grimak Kecamatan Narmada setelah dilakukan penyertaan modal, dihapus dari daftar aset pemerintah daerah Kabupaten Lombok Barat dengan dasar SK Bupati Nomor 1324/16.A/KAD/2013 tertanggal 14 Mei 2013 tentang Penghapusan Barang Milik Daerah Kabupaten Lombok Barat sebagai Bentuk Penyertaan Modal PT TRIPAT.
Setelah terbitnya Surat Keputusan tersebut, dilakukan tindak lanjut untuk melakukan pendaftaran aset tersebut pada BPN Kabupaten Lombok Barat. Berdasarkan Surat Keputusan sehubungan dengan penyertaan modal tersebut, didaftarkanlah tanah itu atas nama PT Tripat yang kemudian dikenal dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 1 seluas 47.921 M², dan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 2 seluas 36.079 M² atas nama PT Tripat.
Hal ini membantah persepsi dan asumsi Penuntut Umum soal kepemilikan tanah setelah penyertaan modal. Tanah tersebut sudah beralih menjadi hak dan kepemilikan dari BUMD PT Tripat. Sebagai gantinya, kekayaan dari Pemerintah Daerah Kab. Lombok Barat adalah saham sebesar 99% sebagai bagian kekayaan yang dipisahkan. Sedangkan, uang Rp2.638.000.000 ditambah tanah 84.000 M² yang terletak di Gerimak Indah, Lombok Barat menjadi milik PT Tripat.
“Bahwa dengan demikian pemahaman dari Penuntut Umum yang tetap bersikeras menyatakan tanah yang dijadikan penyertaan modal in casu tetap barang milik negara/daerah adalah sangat keliru. Tanah telah beralih kepemilikan menjadi haknya PT Tripat sebagai penerima penyertaan modal. Yang dihitung sebagai kekayaan negara dalam hal ini adalah saham kepemilikan PT Tripat sebesar 99% sebagai bagian dari Kekayaan Negara/daerah yang dipisahkan,” tambahnya.
Ditegaskannya lagi, sebagai tindak lanjut dari penyertaan modal itu juga, PT. Tripat selanjutnya mendaftarkan objek tanah yang dijadikan penyertaan modal kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat hingga saat ini telah diterbitkan Sertifikat Hak Bangunan Nomor 1 dan Hak Guna Bangunan Nomor 2 atas nama PT. Tripat.
Dengan terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas objek tanah tersebut semakin mempertegas status hukum dari objek tanah yang tidak lagi menjadi bagian barang milik daerah, melainkan aset milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang tunduk dan patuh pada ketentuan perundang-undangan tentang perseroan terbatas (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
Ditegaskan juga, KSO antara PT. TRIPAT dengan PT. BPS yang di dalam dokumen perjanjian tidak terdapat klausul masa waktu atau jangka waktu perjanjian, tidaklah merupakan sebuah pelanggaran atau perbuatan melawan hukum sekalipun. Perjanjian KSO in casu telah dibuat berdasar pada kesepakatan bersama antara PT. Tripat dan PT. BPS yang telah memenuhi syarat-syarat sah perjanjian.
Sehingga apa yang disepakati dalam perjanjian tersebut berlaku sebagai hukum dan undang-undang pada pihak yang ada dalam perjanjian. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar berkenaan dengan jangka waktu perjanjian, maka sesungguhnya tidak ada perbuatan melawan hukum yang terjadi.
Ditegaskan pula tidak ada pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dapat dipidanakan dalam tindak pidana korupsi, sehubungan dalam jangka waktu perjanjian. Karena soal jangka waktu, murni soal kesepakatan keperdataan yang penyelesaian dan pengakhirannya melalui mekanisme perdata jika memang ada sengketa. Dengan demikian, perjanjian KSO yang tidak mencantumkan jangka waktu perjanjian secara eksplisit, bukanlah sebuah kesalahan.
Sehingga perjanjian KSO berlaku secara sah dan mengikat sebagai hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya. Terkait kontribusi, dalam KSO antara PT. Tripat dan PT. Bliss Pembangunan Sejahtera menggunakan pembagian hasil keuntungan usaha yang besarannya disepakati dan dituangkan dalam perjanjian. Pembagian keuntungan tersebut baru dapat diterima jika memang usaha berjalan lancar dan mendapat laba/keuntungan.
Tidak ditetapkannya kontribusi tetap dalam KSO bukanlah sebuah pelanggaran atau perbuatan melawan hukum, karena sebagai badan hukum privat dan perjanjian yang dibuat business to business maka tidak ada kewajiban atau tidak tunduk pada aturan Pasal 26 ayat (1) huruf c, d dan e PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah diubah dengan PP Nomor 38 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan barang milik negara/daerah.
Sementara dakwaan dan tuntutan, Penuntut Umum menjadikan ketiadaan kontribusi tetap sebagai bagian kerugian yang diderita negara adalah keliru karena menerapkan aturan hukum yang tidak relevan dengan perbuatan dan objek yang diperiksa. Jika kontribusi tetap yang disebutkan penuntut umum tetap dibebankan dalam KSO yang tidak memiliki dasar hukum, artinya pemerintah meminta pungutan kepada investor atau badan hukum yang bekerjasama dengan BUMD secara paksa.
Sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan untuk pembayaran atau pungutan tersebut, maka sama halnya pemerintah melakukan pungutan liar.
Tim penasihat hukum juga menegaskan sepakat barang milik negara/daerah tidak boleh dijadikan jaminan hutang. Lain hal jika yang dijadikan jaminan hutang adalah aset yang dimiliki badan hukum privat termasuk BUMN/BUMD, tidak ada aturan hukum manapun yang mengatur larangan menjadikan aset milik BUMN/BUMD sebagai jaminan hutang, aturan yang disebutkan di atas hanya berlaku dan mengikat objek tanah, barang atau aset milik negara/daerah.
Tetapi aturan tersebut tidak dapat diterapkan pada barang milik BUMD PT Tripat. Kemudian pada aturan hukum Perseroan Terbatas maupun Peratuan Pemerintah Tentang BUMD sekalipun, tidak ada larangan untuk menjadikan objek milik BUMD sebagai jaminan hutang. Oleh sebab itu, penjaminan objek tanah milik PT Tripat untuk memperoleh modal usaha pembangunan superblock LCC di Lombok Barat yang terjadi dibenarkan sah secara hukum.
Penasihat hukum juga membantah dalil kerugian negara yang disebutkan oleh Penuntut Umum akibat penjaminan ini karena tidak berdasar. Pasalnya objek tanah milik PT Tripat yang dijadikan jaminan hutang masih utuh, tidak berkurang melainkan bertambah nilai karena ada bangunan di atasnya, tidak terjadi peralihan hak kepada pihak lain, tidak dilakukan pelelangan umum oleh perbankan, maka tidak ada kekurangan kekayaan dari PT Tripat.
Kerugian yang disebut oleh Penuntut Umum jika tanah sebagai jaminan hutang dilakukan atau dieksekusi lelang oleh perbankan (potential loss). Potential loss belum dianggap kerugian Negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, sehingga kerugian demikian tidak memenuhi unsur pasal tentang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Apalagi penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan Penuntut Umum dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), dan sebagaimana yang terungkap pada fakta persidangan KAP yang bekerjasama dengan Penuntut Umum hanya melakukan pemeriksaan dengan data yang diperoleh dari Penuntut Umum tanpa melakukan klarifikasi secara menyeluruh.
Bahwa Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945, yang dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, secara eksplisit menyatakan bahwa satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Terungkap pada fakta persidangan kenapa Penuntut Umum tidak menggunakan BPK untuk membuktikan telah terjadinya kerugian keuangan negara," timpalnya.
Sebagaimana keterangan dari Ahli Hernold F Makawimbang menurutnya birokrasi yang berbelit dan panjang membuat penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak efektif. Anggapan demikian sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahli Hernol F Makawimbang tersebut merupakan pandangan yang sangat subjektif dan tidak memiliki pijakan dan dasar hukum yang jelas.
Alasan demikian, semakin memperlihatkan bahwa penegakan dalam kasus ini tidak didasarkan pada semangat mencari kebenaran, melainkan nafsu untuk menghukum seseorang secara sewenang-wenang dengan memanfaatkan euforia publik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sekalipun memang dapat dibolehkan unsur lembaga lainnya atau Kantor Akuntan Publik melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, namun harus dilakukan secara profesional dan independen berpedoman pada Peraturan BPK dan Standard Penghitungan Keuangan Negara (SPKN).
Sementara fakta yang terungkap di persidangan, Auditor dan Tenaga Ahli yang digunakan oleh Penuntut Umum tidak memiliki sertifikat keahlian yang dikeluarkan oleh BPK. Ahli Dr. Eko Sembodo, SE.,MM., laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Auditor Akuntan Publik yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2022 tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenaran dan tidak layak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pemeriksaan perkara ini.
Toh, dalam perkara ini tidak terdapat kerugian keuangan negara, tidak hanya karena audit pemeriksaan yang tidak memenuhi standard dan cacat prosedural. “Kesimpulan tidak adanya kerugian negara, penasihat hukum nyatakan karena memang dalam perkara initidak ada kesalahan atau perbuatan melawan hukum yang pantas dianggap dan menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Penuntut Umum dalam menyimpulkan telah terjadi kerugian keuangan negara berdasarkan argumentasi hukum yang keliru dan menggunakan ketentuan hukum yang tidak relevan,” tambah Ina Maulina, Tim Penasihat Hukum lainnya.
Disebutkan dia, ada dua poin penting yang di duga oleh Penuntut Umum menyebabkan kerugian keuangan negara. Yaitu tidak adanya kontribusi tetap dan objek tanah milik PT Tripad berpotensi dilakukan penyitaan oleh perbankan. Sementara Kerjasama Pemanfaatan atau KSO merupakan perjanjian Business to Business (B to B), sehingga keduanya memiliki kehendak bebas dalam menentukan model kerjasama yang akan dilakukan, dan apapun klausul hak dan kewajiban menjadi kewenangan keduanya dalam membuat kesepakatan.
Kemudian objek yang dikerjasamakan pun, bukanlah barang milik negara/daerah, sehingga tidak ada aturan dan batasan teknis yang lebih khusus patut untuk dicantumkan dalam klausul perjanjian. Bahwa sebut saja kewajiban pembayaran kontribusi tetap setiap tahunnya selama masa pelaksanaan perjanjian, dalam perjanjian B to B tidak ada kewajiban untuk menetapkan kontribusi demikian, melainkan kedua pihak dapat membuat model sendiri pembagian keuntungan dalam kerja sama yang akan dibuat.
Kerugian akibat tidak adanya kontribusi tetap yang dibayarkan kepada pemerintah, tidak dapat dipersalahkan, karena dalam KSO hak keuntungan bagi BUMD diperoleh dari pembagian laba/keuntungan hasil usaha. “Logika Penuntut Umum yang memaksa agar dicantumkan pungutan kontribusi tetap padahal tidak ada kewajiban hukumnya disana, dapat dianggap sebagai pungutan tanpa dasar hukum atau pungutan liar,” tegasnya.
Terkait objek tanah yang dikhawatirkan dilakukan penyitaan dan lelang oleh perbankan dan berpotensi merugikan keuangan negara adalah hal yang keliru karena berbasis pemikiran dan logika yang keliru. Sama halnya dengan persoalan sebelumnya mengenai kontribusi tetap, yakni tetap secara keliru menganggap objek perjanjian sebagai barang milik negara/daerah.
PT Tripat sejatinya merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan adanya KSO, karena akibat pelaksanaan KSO tersebut, nilai aset tanah melonjak secara signifikan, jauh melampaui nilai perolehannya.Saat ini nilai jual objek tanah SHGB Nomor 1 dan 2 tersebut telah meningkat tajam. Dalam appraisal yang dilakukan PT Bank Sinarmas nilai tanah tersebut saat ini telah bernilai ± Rp.100.000.000.000,-.
Artinya, ada peningkatan nilai ekonomis dari sebelumnya senilai Rp. 22.000.000.000,- (sesuai dengan nilai pada penyertaan modal PT Tripat).Peningkatan nilai tersebut, menunjukkan PT TRIPAT tidak lah rugi melainkan untung. Kemudian, sesuai dengan Keterangan Prof Dr Jumardin, SH.,MH dan Dr Hendri Julian Noor, SH.,MKn, apabila objek tersebut dilelang, maka hasil lelang yang diterima oleh si Pemegang Hak Tanggungan (PT Bank Sinarmas) sebanyak Akta Pengikatan Hak Tanggungan (APHT) tahun 2014 yang ditanda-tangani oleh PT Tripat (Rp.95.000.000.000,-).
Sementara, berdasarkan keterangan Saksi dari pihak PT. Bank Sinarmas yakni ANDRIAN LUKITO, EKAJAYA ONGNY PUTRA, EUNIKA KUSUMA menyatakan Appraisal pada tahun 2017 terhadap objek tanah SHGB Nomor 1 dan bangunan di atasnya senilai ±Rp. 350.000.000.000,- (tiga ratus lima puluh milyar). Maka apabila dilakukan lelang yang menjadi hak PT Bank Sinarmas adalah Rp. 95.000.000.000 (sesuai APHT), sementara sisanya menjadi hak dan diserahkan pada PT TRIPAT. Artinya, tidak dapat dikatakan PT Tripat rugi dalam melakukan penjaminan atas aset tersebut.
Pewarta: Syafrin Salam/TIM
0 Komentar