Breaking News

Pers Jadi Pengeras Suara Kebenaran

 


Oleh Didin Maninggara (Bang Gara)


Sebaga jurnalis yang malang melintang dan jatuh bangun sejak tahun 1979 di Jabodetabek, Banten, Jawa Barat dan daerah lain di Indonesia, saya mengevaluasi peran pers belum sepenuhnya menjadi pengeras suara yang menyuarakan kebenaran.


Peran pers sebagai PENJERNIH informasi, cenderung melingkar dalam lingkaran kekuasaan. Belum optimal menjalankan misi penyeimbang yang mengedepankan kaidah jurnalisme yang informatif, akomodatif, berimbang, obyektif dan adil.

Informatif, berarti berita, ulasan dan tulisan yang disajikan dengan narasi redaksional yang sedapat mungkin menjadi deptnews atau berita yang memiliki pendalaman.

Akomodatif, mengandung arti tidak memberitakan suatu berita yang memancing dan menyulut konflik.

Berimbang, semua pihak yang berkepentingan atau bersentuhan langsung dengan pemberitaan diberi kesempatan yang sama secara proporsional.

Obyektif, berdasarkan fakta dan data atau berita yang diperoleh dari nara sumber secara jujur atau yang memiliki kompetensi.

Adil, berarti peka terhadap harkat dan martabat.

Informasi yang disiarkan hindari jebakan dari kepentingan tertentu. Tapi terus berupaya menjadi penyambung suara pada kebenaran atau yang diyakini mengandung kebenaran.


Memberitakan kekuasaan dalam porsi yang berlebihan, berpotensi menjadikan pemberitaan pers tidak berimbang. Bahkan, dalam hal-hal tertentu bisa jadi mengkerdilkan pers sebagai pilar demokrasi yang harus kritis pada kekuasaan. Tentunya, kritis yang konstruktif, dengan memegang teguh prinsip pers bebas dan bertanggung jawab berdasarkan Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan moral wartawan dan UU 40 tahun 1999 tentang pers.

Wartawan sebagai insan pers belum semua tahu kaidah pemberitaan, bahwa ada prinsip keberimbangan. Artinya, memberitakan secara berimbang. Sikap kritis pers terhadap kekuasaan bukan berarti hanya fokus memberitakan kekurangan pemerintah, tetapi juga memberikan porsi pemberitaan terhadap hal baik yang dilakukan pemerintah.

Kritis dalam konteks ini, adalah sejatinya menjadi pegangan pers sebagai pengeras suara kebenaran.

Insan pers juga sadar betul, dunia informasi datang silih berganti dengan sangat cepat. Dalam hitungan detik, manusia dijejali dengan ribuan bahkan jutaan informasi melalui medsos, baik Facebook, instigram, youtube dan sebagainya. Soal status benar salah dari informasi tersebut tidak terverifikasi dengan baik. Hoax dan benar bercampur.

Di ranah ini, pers perlu menjadi penerang dengan memberitakan kejadian yang telah terverifikasi terlebih dahulu.

Salah satu kunci utama adalah kedisplinan awak media (wartawan) dalam menerapkan kaidah jurnalistik dalam melakukan peliputan menjadi faktor penentu.

Dengan demikian, wartawan dapat terhindar dari berita hoax manakala dalam menjalankan tugas menerapkan secara sunguh penerapan kaidah jurnalistik yang benar.

Pers harus tetap berjalan pada lorongnya sendiri. Konsisten memberitakan yang benar sebagai yang benar dan yang salah sebagai yang salah tanpa dibumbui banyak framing.

Seiring peradaban baru. Peradaban digital. Peradaban online. Peradaban internet. Sesungguhnya.mencari berita, seperti menghirup angin, ada di mana-mana. Di mana saja, tinggal buka medsos atau portal online yang menjamur. Semua orang bisa memberi kabar, serta semua orang memiliki media itu sendiri.

Kini, otoritas memberi kabar, atau berita, sejatinya bukan lagi hanya milik wartawan. Tapi, milik semua orang.

Tetapi, dalam perspektif peradaban digital, peranan pers dan wartawan semakin penting. Terutama, wartawan media online yang kian menjamur, seperti menjamurnya penggunaan internet hingga disemua pelosok.

Di tengah persaingan media pers (online) khususnya di NTB, keberadaan Gabungan Jurnalis Investigasi (GJI) di bawah Ketua Dewan Pembina, Babe Amin, anggota GJI dituntut juga menjalankan tugas jurnalis dengan sebaik-sebaiknya, berdasarkan kebebasan pers yang profesional, sesuai Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman moral wartawan dan amanat Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Saya memasuki usia 67 tahun pada Maret ini, dan sudah niatkan pensiun dari dunia jurnalis, meyakini sosok-sosok muda yang bergabung di GJI memiliki keterpanggilan jiwa, semangat jurnalis yang begitu kental dan naluri wartawan yang begitu dalam.

Keterpanggilan itu, memantulkan emosi. Emosi adalah tekad yang akan menjadi penyemangat dalam mencari informasi, mengelola dan meramu untuk memproduksi berita yang sedapat mungkin bisa mengaduk-aduk perasaan pembaca. Seperti layaknya menikmati masakan di sebuah restoran. Atau di sebuah warung pinggir jalan. Menggoda rasa. Ingin membaca, dan terus ingin membaca.

@Jakarta, 1832022

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close