Breaking News

Di Arena Musakara LATS : Prof Dr Din Syamsuddin Kupas Makna Adat Barenti ko Sara" dan Sara' Barenti ke Kitabullah

 
Oleh Didin Maninggara


Prof Dr Din Syamsuddin dikenal di dunia internasional dalam banyak kapasitas dan jabatan.Tiga diantaranya, sebagai Presiden Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian yang berpusat di Tokyo, Jepang. Sebagai pelopor utama Dialog Antaragama dan Peradaban.Juga menjadi salah satu tokoh sentral sebuah lembaga bernama Forum Lintas Agama Dunia.Dalam tiga kapasitas dan jabatan tersebut, Doktor Ilmu Politik Islam lulusan UCLA, Amerika Serikat itu, pernah menyampaikan pidato pada Sidang Umum PBB, beberapa tahun lalu. Meraih gelar profesor dalam sidang senat terbuka UIN Syarif Hidayatuah Jakarta tahun 1998 dengan pemaparan ilmiah berjudul Siapa Mengkooptasi Siapa.

Pada Musakara LATS yang digelar di Istana Dalam Loka, Sumbawa Besar yang berakhir Minggu, 30 Oktober ini, Din Syamsuddin mengurai makna adat barenti ko sara' dan sara' barenti ke kitabullah.

Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode itu, parenti atau prinsip mengandung makna substantif, yaitu menggerakan daya pikir dan laku yang kemudian menjadi elan vital kehidupan orang Sumbawa atau tau Samawa, dideklarasikan secara resmi sebagai grondslag Kesultanan Sumbawa oleh Sultan Harun Alrasyid I pada tahun 1674.

Sultan Harun Alrasyid dalam berbagai literatur Belanda, kata Din, disebut dengan Dewa Mas Bantan Datu Loka. Ia adalah Raja Sumbawa pertama yang disebut dengan nama Sultan. Raja raja Sumbawa sebelumnya hanya disebut Koning Van Sumbawa, atau Raja tanpa sematan Sultan.

"Penambahan Datu Loka di nama karena beliau turun tahta di tengah jalan dan menyerahkan kekuasaan kepada anaknya yang bernama Dewa Mas Madina. Datu Loka untuk membedakanya dengan Datu Baru," ungkap cucu Imam Besar/Penasehat Keagamaan Sultan Sumbawa era Sultan Muhammad Kaharuddin IV yang telah wafat.

Prof Din kemudian membandingkan antara Adat basendi Syara', Syara' basendi Kitabullah di Minang. Perbandingan itu, sebutnya, tidak hanya karena ia orang Sumbawa sehingga mengatakan bahwa barenti atau berpegang dengan basendi atau berdasar, memang kuat makna barenti'. Karena dalilnya memang demikian, "man tamassaka bisunnati".

Din menjelaskan, kata yang digunakan adalah masaka yamsaku atau berpegang. Maka kepada kitabullah dan sunnah kita harus "tamassuk", yang artinya berpegang atau barenti'.Ini menunjukan kedalaman pengetahuan keagamaan orang Sumbawa 348 tahun yang lalu, hingga memilih diksi barenti' daripada sekedar bersandar.

Barenti di Al Qur'an juga disebut dengan manasik atau ibadah itu sendiri. Maka barenti ko sara' tidak hanya sebuah deklarasi untuk berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah, tetapi juga bermakna perikatan menjalankan ibadah sesuai ketentuan Al Qur'an dan Sunnah.

Adat barenti ko sara' sara' barenti ko kitabullah diikuti dengan "takit ko Nene', kangila boat lenge krik salamat Tau ke Tana samawa".

Jika ada yang bertanya, lanjut Din, apa rapang adat Tana Samawa, maka jawabannya jelas adalah takit ko Nene kangila boat lenge.

Takit ko Nene artinya bertaqwa kepada Allah, dalilnya di dalam Al Qur'an ada banyak sekali, "ittaqullaha haqqo tuqotih", Takit ko Nene kewa sabenar benar takit, bertaqwa lako alatala kewa sabenar benar taqwa.

Konsekwensi dari takit ko Nene' adalah kangila boat lenge, "Al haya' minal iman" malu itu sebagian dari iman. Tampak bahwa bahkan pilihan kata kangila pun lahir dari eksplorasi yang sangat dalam terhadap teks dan dalil. Kangila, Al haya', sai to' dua ila' adalah virtues (kebajikan/kebijaksanaan) orang sumbawa. Virtue tersebut sejatinya adalah khuluqiyah dari Tau dan Tana Samawa.Khuluqiyah atau perilaku barasal dari kata khuluqun yang jamaknya menjadi akhlaq. Akhlaq adalah adab edab tau (Makhluq) dalam relasinya dengan Kholiq (Nene').  

Virtues inilah yang dilanis (diayak) melahirkan Parenti Kalanis Tau ke Tana Samawa.Jadi parenti kalanis Tau Samawa lahir sebagai derivasi sesuatu yang tinggi, yang mulia, yang lahir dari ekspresi adab edab dalam relasi Tau dan Nene'. Parenti Kalanis inilah yang menjadi etos atau elan vital yang menjelma menjadi semangat hidup orang Sumbawa seperti kangila lara, sabeta ila', pragas (progresif), kiak (semangat), jujil (pantang menyerah), tuwa kawa (daya tahan tinggi) dan seterusnya. (Red)

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close