Breaking News

Etiskah Media Partisan dalam Pilkada Serentak 2024?

 
Oleh Didin Maninggara,Wartawan Tiga Zaman Owner garanews.com


Dua hari ini. Dari 12 sampai 13 Oktober 2024. Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI) Provinsi Nusa Tenggara Barat menggelar Training Melawan Gangguan Informasi Pilkada.

Pada acara tersebut menghadirkan dua narasumber kompeten. Yakni Mas Faul dari Solo Pos dan Arsito Hidayatullah dari Suara.com. Kedua jurnalis handal itu mengupas tentang peliputan media dalam memberitakan Pilkada serentak tahun 2024 ditengah arus deras peradaban digital berbasis internet.

Saya sebagai satu-satunya "peserta tamu" pada acara itu, menyimak dengan baik paparan dari Mas Faul dan Mas Arsinto. Mereka begitu mumpuni mengkonstruksi nilai-nilai substantif kaidah jurnalistik di tengah arus deras peradaban digital yang membonceng multi perubahan dalam perspektif jurnalisme modern.

Salah satu perspektif yang mendasar adalah seputar gangguan informasi yang acapkali mengiringi peradaban digital.

Ada tiga jenis gangguan informasi yang dikupas kedua jurnalis muda itu.

Pertama, Misinformasi. Yakni, informasi yang disebarkan salah, tetapi orang yang membagikannya percaya bahwa informasi itu benar.

Kedua, Disinformasi. Yaitu, Informasi salah yang sengaja disebarkan dengan tujuan tertentu.

Ketiga, Malinformasi.  Penyalahgunaan informasi. Informasi asli disebarkan untuk merugikan orang lain.

Dalam konteks ini, saya setuju bahwa banyak media dan jurnalisnya terkesan sangat bergairah menulis ketiga jenis gangguan informasi dimaksud.

Esensialitas media dan jurnalis sejatinya netral. Tapi di ranah politik pemilu atau pilkada serentak 2024, netralitas mengalami perubahan esensi. Dalam bahasa saya disebut netralitas jurnalis dan medianya mengalami degradasi.

Para kandidat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati ataupun walikota-wakil walikota disemua daerah, diramaikan oleh media, khususnya media pers atau media mainstream.

Mereka menafsirkan kata "media dan jurnalis bersikap independen" direkonstruksi dalam bingkai pemihakan dengan fokus utama membangun citra kandidat tertentu, tanpa menyentuh hal yang substantif. Saya sadari, itu adalah keniscayaan politik media. Atau lebih tepat keniscayaan politik redaksional media. Lantaran memang, media memiliki politik redaksional atau kebijakan redaksional.

Dalam konteks yang lebih luas lagi, pilkada serentak sedang dalam tahap masa kampanye. Hari pencoblosan atau pemungutan suara tinggal menghitung hari, yakni pada 27 November. Wajar bila media massa pun makin kerap memberitakan segala hal tentang perhelatan politik akbar tersebut, dari liputan kegiatan para kandidat, klaim para politisi, sampai dinamika hasil poling elektabilitas kandidat.

Tapi, menurut pengamatan saya, media cenderung membahas pernyataan para pejabat dan politikus, bukan isu-isu mendasar yang substantif tentang tantangan yang dihadapi daerah dan rakyatnya secara nyata.

Media lebih suka menjalankan praktik yang disebut jurnalisme pacuan kuda atau horse race journalism.

Jurnalisme pacuan kuda adalah fenomena dalam liputan pemilihan umum, apalagi pilkada di mana fokus utama media adalah pada persaingan taktik politik, dan perubahan posisi kandidat dalam jajak pendapat, sementara isu-isu kebijakan yang relevan dengan hajat hidup rakyat banyak justru terabaikan.

Media cenderung lebih fokus pada drama politik dan pertempuran antar kandidat. Sehingga mempublikasi berita yang menarik secara visual demi meningkatkan pembaca. Akibatnya, tak sedikit media kehilangan pemahaman komprehensif tentang isu-isu yang benar-benar penting bagi masyarakat.

Dengan menganut jurnalisme pacuan kuda, liputan media lebih mengutamakan pada fluktuasi hasil jajak pendapat popularitas dan elektabilitas kandidat; perdebatan antar-kandidat tentang penampilan dan strategi kampanye; atau kegiatan para kandidat bersama konstituennya.

Isu-isu lain, seperti kualitas pendidikan, aksesibilitas, dan peningkatan standar pendidikan justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Padahal tiga isu tersebut sangat penting bagi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya.

Dalam konteks horse race journalism, liputan mengenai isu ini telah tertutup oleh pertempuran politik atau skandal pribadi kandidat. Akibatnya, pemahaman publik tentang urgensi kelestarian lingkungan menjadi terbatas.

Isu-isu kesehatan masyarakat, seperti akses ke layanan kesehatan yang terjangkau, perawatan kesehatan mental, dan kebijakan kesehatan masyarakat juga jarang diperdebatkan di media.

Media yang terlalu terpaku pada persaingan politik berpotensi mengabaikan kebutuhan nyata masyarakat dalam hal kesehatan dan kesejahteraan.

Dalam situasi ini, journalisme pacuan kuda mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Horse race journalism telah menyempitkan pemahaman media tentang kandidat dan isu-isu kebijakan. Media terjebak dalam pusaran persaingan taktik politik para kandidat yang mengaburkan substansi dan isu-isu penting bagi publik.

Tapi di lain sisi, saya juga setuju bahwa persaingan politik yang dramatis adalah cara media menarik perhatian masyarakat dan mendorong partisipasi pemilih. Dengan taktik demikian, bisa jadi disengaja pemberitaan media fokus pada perubahan posisi kandidat dalam poling memberikan informasi tentang bagaimana kampanye berkembang dan bagaimana pandangan mereka berubah seiring waktu.

Meski begitu, saya mendorong pandangan media mengedukasi  publik untuk mempertanyakan apakah taktik kampanye para kandidat semacam itu dapat memberikan pemahaman yang memadai tentang isu-isu penting lain yang harus menjadi fokus utama dalam pilkada.

Saatnya media menjelang hari-hari terakhir kampanye dan akan memasuki tahapan debat publik para kandidat menyuguhkan liputan yang lebih informatif pada hal-hal substansial. Sebab hal ini, penting bagi publik sebagai pemilih untuk
menggali isu-isu kebijakan yang relevan dan memastikan pemahaman mendalam tentang posisi kandidat terhadap isu-isu tersebut.

Mencari sumber berita yang beragam dan memeriksa fakta secara independen untuk menghindari terjebak dalam berita sensasional.

Mengatasi dampak negatif jurnalisme pacuan kuda dengan membangun masyarakat yang kritis terhadap informasi.

Dalam rangka memilih pemimpin yang sesuai dengan kepentingan publik, media layak memberitakan pilkada dengan cara berbeda agar khalayak mampu menguji rekam jejak, serta kebijakan yang disampaikan oleh para kandidat.

Dengan memperluas pemahaman publik tentang isu-isu penting dan mengevaluasi visi dan rencana kandidat secara menyeluruh, media dapat membuat pilihan yang lebih cerdas dan menghindari liputan seperti pacuan kuda.

Etiskah media menjadi partisan salah satu kandidat? Pertanyaan ini mengemuka dari kedua narasumber tersebut.

Membaca hasil penelitian Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang diberi judul Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia, membuktikan media partisan semakin terang-terangan mengusik ruang demokrasi kita.

Penelitian ini menggambarkan lanskap kepemilikan media dan afililiasi politik, terkesan kian meramaikan partisan politik media pada pilpres dan pilkada.

Hal ini wajar karena media memiliki peran penting dalam membangun opini publik, apalagi pada era ketika perkembangan media sosial semakin masif memengaruhi opini publik sangat kuat.

Tapi sikap partisan media pers dalam pemilu sangat membahayakan demokrasi. Ruang publik seperti media yang seharusnya independen, menjadi rusak karena mendapatkan intervensi dari pemilik media. Dalam hal tersebut ini pemilik media besar dan terkemuka, seperti TVOne dan MetroTv. Termasuk juga media HT dengan jaringannya yang kuat. Pemilik media tersebut sudah diketahui publik adalah petinggi partai politik tertentu.

Dalam catatan jurnalistik saya menggarisbawahi betapa partisan beberapa media besar melakukan aksi yang memalukan pada Pemilu 2014. Waktu itu TV One menyiarkan secara langsung klaim kemenangan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengalahkan calon presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Kenapa TV One berani menyiarkan klaim kemenangan palsu itu? Karena pemilik media tersebut, Aburizal Bakrie, adalah Ketua Umum Partai Golkar yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.

Bias pemberitaan TV One sangat kentara. Pemilik media mengintervensi berita yang disajikan.

Pada Pemilu 2024, muncul konten-konten yang disajikan media yang secara terang-terangan partisan. Dengan melihat intervensi politikus terhadap ruang redaksi, patut dicurigai berita maupun konten yang disajikan media partisan bukanlah kepentingan publik, melainkan kepentingan politik pribadi dan kelompok pemilik media.

Hasil penelitian PR2Media juga menunjukkan model afiliasi politik media arus utama nasional tersebut. MNC Group dan Media Group masuk dalam model extreme dan stronge. Dalam kasus MNC Group, Hary Tanoesoedibjo selaku pemilik dan direktur umum di media tersebut juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Perindo.

Hary bersama keluarganya maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Pada saat yang sama anaknya juga menjadi wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju. Model ini yang oleh peneliti PR2Media disebut sebagai model extreme.

Sedangkan model stronge, menurut peneliti PR2Media terjadi di Media Group. Afiliasi politik tergambarkan pada Surya Paloh sebagai pemilik dan menjadi direktur utama di media tersebut sekaligus  menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Nasdem.

Sedangkan anaknya, Prananda, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan menjadi anggota DPR 2019-2024. Partai Nasdem juga menempatkan tiga kader menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju.

Dua menteri dari Partai Nasdem, Johny G. Plate dan Syahrul Yasin Limpo, mundur karena tersandung kasus korupsi. Hanya tersisa Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Para peneliti PR2Media menyebut afiliasi media dalam politik praktis sangat kompleks dan merusak nalar kewarasan publik.

Media partisan yang saat ini berkembang dalam lanskap media di Indonesia cukup meresahkan dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pers. Kalau diterus-teruskan tentu akan merusak sendi-sendi demokrasi.

Saat media pers justru partisan, apa layak disebut menjunjung Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan moral jurnalis dan Undang-Undang Pers yang menjadi landasan hukum wartawan.

Jawabannya jelas dan terang benderang, bahwa itu salah. (Bersambung ke episode 2).

0 Komentar

Posting Komentar
Mulya Residence

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close