Mataram (postkotantb.com) - Indonesian Ph.D Council (IPC) bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hak Kekayaan Intelektual se-Indonesia (APHKI) dan Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) kembali menyelenggarakan rangkaian kegiatan ilmiah yaitu PEKAN APRESIASI dan PENDALAMAN PENGEMBANAN HUKUM TEORITIK KE-III, dari tanggal 18 sampai 22 Desember 2024, kemarin.
Rangkaian kegiatan akademik yang berlangsung selama lima hari lima malam itu ditutup Minggu, 22 Desember 2024 ini diselenggarakan secara hybrid, dan diikuti oleh para pembelajar Doktor ilmu hukum, dosen dan peneliti serta advokat, yang tergabung dalam IPC (296 anggota), APHKI (222 anggota) dan DePA-RI (ribuan anggota) memfokuskan dialog dan diskusi hukumnya pada tema Pembadanan Keadilan Substantif bagi Semua.
Kegiatan yang digelar di Mataram dan Lingsar, Lombok, itu menghadirkan beberapa narasumber-pembicara antara lain Hayyan ul Haq, SH, LL.M., Ph.D., Founder and Chairman of Indonesian Ph.D Council, Prof. Adi Sulistyono (Guru Besar FH-UNS), Ketua Asosiasi Pengajar dan Peneliti HKI se-Indonesia, Prof. Topo Santoso (Guru Besar dan Mantan Dekan FH-UI), Prof. O.K. Saidin (Guru Besar dan Kaprodi FH-USU), Dr. Luthfi Yazid, SH., LL.M., Pendiri sekaligus Ketua Umum DePA-RI, dan para pembelajar Doktor Ilmu Hukum seperti Zulfachri, Nina Triana, Wahyudin, Lalu Yudhi Setiawan, Mabrur Haslan, Dr. Murdan, Direktur Pascasarjana UNU, Bagu, Lombok dan para peserta dialog lainnya. Semua rangkaian dialog dan diskusi dalam kegiatan tersebut ditayangkan langsung dan dibroadcast melalui Live Streaming YouTube.
Pada hari pertama, dalam sambutannya pukul. 16.30-17.00, Prof. Adi Sulistyono menekankan pentingnya memperkuat networks to networks dengan sesama pengemban ilmu hukum baik pada tataran Teoritik maupun praktis. Kegiatan ini membuka ruang-ruang pembelajaran bersama dalam mengkaji menelaah dan mereview perkembangan ilmu hukum yang baru dan aktual, yang terefleksi dalam berbagai desain maupun hasil penelitian disertasi yang dipresentasikan oleh para pembelajar hukum.
Dalam kesempatan yang sama Dr. Luthfi Yazid, SH., LL.M, menekankan pentingnya semangat dan komitmen para advokat untuk membantu penegakkan hukum yang diabdikan untuk keadilan bagi semua (JUSTITIA OMNIBUS), yang merupakan cita sekaligus jiwa dari organisasi Dewan Pergerakan Advokat RI ini.
Setelah membuka kegiatan akademik tersebut, pada pukul 17.00-18.15, Hayyan ul Haq, Ph.D yang juga dosen dan peneliti pada Fakultas Hukum Universitas Mataram, mereview dan mendiskusikan Philosophical Foundation of Research Ethic, yang ditulis Alex Johson London, dan diterbitkan Oxford University Press tahun 2023.
Hayyan ul Haq menyinggung dua fondasi ethic dalam penelitian. Pertama, dimensi substantif dari etika penelitian seperti nilai kebaikan, kebenaran, kejujuran, dan keseimbangan harus menjadi dasar atau landasan kegiatan penelitian, karena nilai tersebut adalah fondasi yang memvalidasi keabsahan penelitian tersebut. Kedua, dimensi tekhnis internal yang mengharuskan para peneliti untuk bersikap obyektif, logis, rasional, dan terbuka dalam melakukan kegiatan penelitiannya.
Dalam konteks ini, ethical standard obyektifitas, rasionalitas-logis, keterbukaan ini berfungsi sebagai panduan ilmiah dalam proses penelitian. Dengan pemenuhan substantive values dan technical standard penelitian di atas, para pembelajar dan peneliti dapat mempertanggungjawabkan seluruh rangkaian kegiatannya secara etis dan rasional-ilmiah.
Malamnya, pukul. 20.00-21.00, Nina Triana pembelajar program doktor ilmu hukum UNRAM 2021, mengelaborasi pentingnya perlindungan hak fundamental dalam bentuk jaringan pengaman sosial, bagi para pekerja rentan, seperti buruh, petani, nelayan, marbot masjid, pedagang bakulan pasar dan lain lain.
Gagasan ini ditujukan untuk memperluas kewajiban dan tanggungjawab konstitusional negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak fundamental seluruh rakyat Indonesia menuju cita negara kesejahteraan yang berdasar pada Pancasila dan Konstitusi UUDNRI 1945.
Senada dengan gagasan yang dipresentasikan oleh Nina Triana, pada pukul 21.00-22.00, Wahyudin pembelajar PDIH UNRAM, 2021, mengangkat isu tentang pentingnya Perlindungan hukum terhadap pihak yang lebih lemah dalam pembuatan kontrak. Oleh karena itu, Wahyudin menekankan pentingnya Konstruksi Hukum Peniadaan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) dalam Pembuatan Kontrak yang Berkeadilan. Setelah itu, presentasi dilanjutkan dengan diskusi (hybrid) yang berlangsung hingga pk. 00.00.
Pada hari Kedua, 19 Desember 2024, pukul.10.00-12.00, dalam acara dialog Podcast di kantor Bappeda NTB yang diselenggarakan atas kerjasama APHKI dan Bappeda NTB, dan didukung sepenuhnya oleh SKALA, Australia, Hayyan ul Haq mengingatkan pentingnya sumber daya non-material, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan, kejujuran sebagai fondasi pengembangan kreatifitas dan produktifitas yang melahirkan invensi-invensi, inovasi-inovasi dan teknologi inklusif serta inovasi sosial lainnya yang sangat berpotensi meningkatkan kapabilitas masyarakat, mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesehatan masyarakat dan lain lain dalam upaya mempercepat transformasi kehidupan bersama yang lebih baik.
Sorenya, pukul 16.00 -18.30, diskusi terus berlanjut dengan gagasan tentang Penyeimbangan Idealitas dan Realitas Pengembanan Hukum yang disampaikan oleh Prof. Topo Santoso, Guru Besar FH UI. Dalam kesempatan itu, muncul dialog substantif yang dipicu oleh pertanyaan Dr. Luthfi Yazid terkait dengan kasus-kasus kontroversial yang menyita perhatian publik seperti pernyataan Presiden RI, Prabowo Subianto, yang menghimbau para koruptor untuk mengembalikan harta negara yang dikorupsi.
Begitu pula terhadap kebijakan kontroversial pemerintah yang mengembalikan para terpidana kembali ke negara mereka masing-masing. Dr. Luthfi Yazid menchallenge strategi seperti apa yang dapat kita lakukan dalam menyeimbangkan legal idealisme dan legal realism ini.
Terhadap kedua pertanyaan Prof. Topo melihat bahwa pernyataan Prabowo yang menghimbau para koruptor untuk mengembalikan harta yang dikorupsi itu sebagai refleksi Idealitas Pengembanan Hukum yang dapat dilihat sebagai tujuan yang harus dibadankan dalam realitas pengembanan hukum. Secara kongkrit Prabowo mengungkapkan komitmennya dalam pemulihan semua kerugian negara yang diakibatkan oleh para koruptor.
Dalam hal ini, seharusnya jajaran pemerintah di bawah Presiden, i.e., Menkumham dan aparat penegak hukum, segera bekerja untuk memvisualisasikan dan mewujudkan idealitas tersebut misalnya melalui pembentukan undang undang atau peraturan seperti Deferred Prosecution Agreement yang mengatur prosedur, proses atau tahapan dalam teknis hukum pidana dalam pengembalian dana yang dikorupsi tersebut.
Sehingga dengan demikian guna menghindari pen dikotomikan antara Idealitas dan legalitas, seharusnya kita tidak mempertentangkan atau membuat pilihan antara Idealitas dan realitas hukum.
Namun keduanya adalah mazhab pendekatan yang harusnya bisa kita integrasikan dalam memvisualisasikan dan mewujudkan pengembanan hukum yang berkeadilan bagi semua (Justitia Omnibus).
Demikian pula ketika menanggapi proses pengembalian tahanan terpidana (transfer of sentenced persons), Prof. Topo melihat adanya permasalahan di level perundang-undangan, karena sampai saat ini kita belum menandatangani perjanjian (Strassboug Agreement) pengembalian tahanan, dan belum memiliki undang undang pemindahan tahanan tersebut. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini hanya berdasarkan pada pendekatan non-hukum, melalui bubungan politik dan persahabatan kedua negara.
Namun kebijakan tanpa fondasi normatif yang jelas seperti ini, rentan untuk memicu negara lain yang juga menuntut hal yang sama yaitu pemulangan tahanan dari negara mereka, apabila pemerintah tidak mengaturnya dalam bentuk perundang-undangan yang jelas, mengingat isu pengembalian tahanan ini harus detail, seperti jenis kejahatan apa yang bisa dipulangkan, hukuman minimal berapa tahun untuk dapat dipulangkan, dan seterusnya. Inti dalam dialog tersebut adalah perlunya fondasi normatif yang jelas dalam membadankan idealitas gagasan dan solusi pada pengembanan hukum praktisnya.
Pada sesi malamnya, pukul 19.00 sampai 21.00, kegiatan diskusi berlangsung dalam acara silaturahim dan diskusi dengan Dewan Pergerakan Advokat RI. Dalam kesempatan tersebut, De. Lithfi Yazid, SH., LL.M., menyatakan dengan tegas bahwa DePARI sebagai organisasi yang resmi, sah dan valid, karena status bada hukumnya diberikan oleh pemerintah, Dirjend. AHU, MENKUM RI.
Itu artinya DePARI adalah lembaga yang legitimate, sebagai wadah pengorganisian dan pengoptimasian eksistensi dan peran para advokat dalam penegakkan hukum di Indonesia Oleh karena itu, Dr. Ainuddin, Ketua KAI, menyatakan kesiapannya bersama para anggota KAI lainnya, berbondong-bondong masuk menjadi anggota DePARI.
Dalam kesempatan dialog dengan para advokat tersebut Hayyan ul Haq, menegaskan kekuatan pergerakan itu terletak pada nilai yang mendasari dan mengikatnya dalam perjuangan yang sama. Nilai itu adalah keadilan untuk semua. Nilai yang menjadi landasan perjuangan sekaligus cita DePARI.
Anda para advokat berkumpul di DePARI ini bukan karena kebetulan. Tapi karena diikat dengan nilai, visi dan energi yang sama dan yang saling menguatkan yaitu komitmen dan kehendak untuk mewujudkan keadilan substantif bagi semua (Justitia Omnibus)
Selanjutnya, pada Sabtu, 21 Desember 2024, pembicara berikutnya, Lalu Yudi Setiawan, pembelajar pada PDIH Unram 2023, menawarkan gagasan untuk melindungi karya sastra Sasak sebagai produk kultural melalui pendekatan hak cipta dan perlindungan ekspresi budaya tradisional.
Yudi melihat adanya potensi besar yang terkandung dalam setiap karya sastra yang ditransformasikan dan ditulis dalam bentuk takepan dan machapat. Potensi itu adalah nilai dan inspirasi yang bisa melahirkan karya-karya seni sastra dan budaya derivative lainnya.
Namun Hayyan ul Haq mengingatkan bahwa Hak cipta mengandung keterbatasan dalam melindungi produk kultural termasuk karya sastra Sasak ini, karena komponen internal dalam sistem perlindungan hak cipta cenderung menggunakan simbol-simbol semiotic modern (elements of modern semiotic symbols), seperti originalitas, identifiable author, limited protection, material form dan lain sebagainya.
Sementara karya sastra dan folklore yang merupakan produk kultural ini diturunkan dari generasi ke generasi, mungkin bisa ratusan atau bahkan ribuan tahun dan anonymous. Seringkali tidak diketahui siapa pencipta yang sesungguhnya.
Jadi dalam pandangan Haq, seharusnya semua produk kultural itu tidak hanya mengandalkan perlindungan hukum, dan pengoptimasian melalui norma hukum positif yang ditetapkan oleh otoritas yang berkuasa saja, tetapi juga harus melihat potensi living law dan cultural products lain yang hidup di masyarakat, dipraktikkan, digunakan dan dikembangkan dalam kehidupan Komunitas Pengembanan budaya terkait.
Dalam kaitannya dengan gagasan tersebut, Haq, dengan mengacu pada pemikirannya yang disampaikan dalam UNESCO Expert Meeting di Amsterdam, pada tahun 2010, lebih lanjut menambahkan dan memperkuat gagasan pembentukan museum-museum inklusif yang akan menjadi media pembelajaran yang hidup dalam pengembanan kebudayaan tersebut.
Museum inklusif ini berbeda dengan museum konvensional yang hanya menyimpan, merawat dan memamerkan produk produk cultural heritage itu saja. Museum inklusif ini akan melibatkan masyarakat pengembanan kebudayaan itu untuk menggunakannya dan mengoptimalkan semua potensi fungsionalnya.
Sehingga dengan demikian, museum museum inklusif yang ada dalam masyarakat itu berfungsi sebagai: (i) media pembelajaran (kelas-kelas seni dan budaya) dalam transformasi nilai, cita dan identity; (ii) media konservator atas semua cultural heritage products; dan (iii) media berekonomi bagi masyarakat pengembannya.
Selanjutnya, pembicara berikutnya Mabrur Haslan menekankan pentingnya perlindungan hak Asasi manusia terutama bagi komunitas penyandang disabilitas. Hal ini didasarkan pada pemikiran konstitusional, bahwa konstitusi itu meletakkan kewajiban positif bagi negara untuk menjamin pendidikan bagi semua rakyat warga negara Indonesia.
Dengan demikian, tersedianya akses atas pendidikan, termasuk pendidikan inklusif, bagi semua warga negara tanpa kecuali merupakan indicator penting dalam menguji dan mengukur kewajiban dan tanggungjawab konstitusional negara dalam menghormati (right to respect), melindungi (rights to protect) dan memenuhi (rights to fulfill) hak-hak fundamental warga negaranya.
Selain pembicara di atas, Dr. Murdan, yang juga Direktur Pascasarjana, Universitas Qamarul Huda (Nahdhatul Ulama), Bagu, Narmada, Lombok, yang mempresentasikan tentang pentingnya penyeimbangan antara hukum, kebebasan dan humanity. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa kebebasan dalam kehidupan setiap orang adalah hak fundamental.
Namun demikian, hukum memberikan batasan atas demarkasi yang jelas atas ruang kebebasan tersebut. Dalam konteks inilah, kemanusiaan (humanity) berperan dalam memberikan arah kebebasan sekaligus menyeimbangkan kebebasan dan hukum.
Pemahaman ini penting sebagai fondasi teoritik atas pengakuan keberagaman dan keunikan setiap manusia dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian segala kebijakan yang discriminatif dan mengancam keberagaman eksistensi kehidupan setiap orang atau komunitas adalah kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi.
Dalam konteks ini, Hayyan ul Haq menekankan pentingnya pengkonstitusionalisasian kebijakan, atau aktifitas penegakkan hukum yang tidak dapat memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah (the weaker parties). Pengkonstitusionalisasian ini penting untuk menjaga kekoherensian kekonsistensian, pelaksanaan konstitusi sampai pada tingkat yang paling bawah.
Lebih lanjut, Haq menegaskan bahwa pengkonstitusionalisasian undang-undang, peraturan, kebijakan praktik hukum yang menyimpang ini merupakan cara yang paling valid, legitimate dan konstitusional dalam meneguhkan perwujudan dan pembadanan di substantive justice bagi semua (JUSTITIA OMNIBUS)
0 Komentar