Lombok Barat (postkotantb.com)- Pulau Lombok merupakan salah satu daerah yang di mana saat ini tengah menjadi incaran wisatawan baik domestik maupun mancanegara, setelah Pulau Dewata. Dengan kedatangan wisatawan tentunya mendorong proses akulturasi seni dan budaya. Bagi sebagian kalangan menilai hal ini bagian dari berkah bagi masyarakat Lombok.
Namun anggota Komisi V DPRD NTB, H. Jamhur merasa khawatir, masuknya budaya-budaya asing lantas membuat masyarakat lupa dengan kearifan adat istiadat dan budaya sasak.
"Secara umum memang saat ini budaya lokal kita tengah dalam proses akulturasi dengan budaya-budaya asing. Tadi saya katakan, ada bahasa kebudayaan yaitu bilao, yang memiliki nilai etika yang mendalam. Tidak seperti budaya asing yang lepas dari konsep agamis," ungkap Jamhur, usai kegiatan seminar budaya di Pondok Pesantren (Ponpes) Assulamy Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Minggu (03/08/2025).
Ia menilai, di era generasi Z (Gen Z) ini banyak budaya lokal yang nyaris punah terdampak budaya asing. Padahal keanekaragaman budaya lokal memiliki ciri khas masing-masing yang tidak jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini pula yang menjadi modal untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jika tradisi dan budaya lokal benar-benar punah, maka generasi saat ini akan kehilangan jati diri dan mudah sekali terombang ambing pengaruh asing. Karenanya dibutuhkan transformasi ilmu terhadap tradisi dan budaya ke generasi selanjutnya sehingga berkesinambungan.
Selain itu, dibutuhkan dukungan serta keterlibatan seluruh stakeholder utamanya tokoh kebudayaan untuk memberikan edukasi khusus di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran destinasi wisata. "Kalau stagnan, maka generasi muda melupakan bahkan tidak mengenal budayanya sendiri," timpal anggota dewan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Polemik Kecimol dan Binaraga
Ia juga menyoroti tradisi kecimol yang kerap dikait-kaitkan dengan penampilan tarian erotis dan mengganggu ketertiban umum. Ia mengaku sepakat apabila kecimol merupakan bagian dari tradisi Lombok, sebagai wujud euforia dari suatu acara.
Namun dengan catatan harus tetap memperhatikan unsur etika sesuai norma-norma yang berlaku. "Kecimol itu baik, tapi kalau dilakoni secara baik, tidak melanggar adat dan istiadat. Boleh berekspresi, tapi jangan sampai ada minum-minuman keras sampai ditonton banyak orang," sindirnya.
Terlebih tradisi ini kerap menjadi bahan tontonan publik tanpa ada batasan usia. Belum lagi soal olahraga binaraga yang diselenggarakan saat Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII belum lama ini yang juga menjadi buah bibir para tokoh di Pulau Lombok.
"Jangan sampai menciderai Pulau seribu Masjid. Nanti bukan malah yang baik mendunia, tapi yang nggak baik," timpalnya.
NTB saat ini mendapatkan jatah UPT Pelestarian Budaya dari pemerintah pusat. Pihaknya bersyukur, adanya unit ini para eksekutif dan legislatif di daerah tidak hanya fokus terhadap kelestarian keanekaragaman tradisi dan budaya lokal.
Unit ini juga berfungsi menyaring budaya-budaya yang kontroversial, semisal budaya kecimol, serta budaya asing yang tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Pulau Lombok. "Nanti ketika juga akan dibentuk dinasnya, tentu harus dipayungi perda yang akan dibahas oleh eksekutif dengan DPRD NTB," jelasnya.
Pewarta: Syafrin Salam.
Namun anggota Komisi V DPRD NTB, H. Jamhur merasa khawatir, masuknya budaya-budaya asing lantas membuat masyarakat lupa dengan kearifan adat istiadat dan budaya sasak.
"Secara umum memang saat ini budaya lokal kita tengah dalam proses akulturasi dengan budaya-budaya asing. Tadi saya katakan, ada bahasa kebudayaan yaitu bilao, yang memiliki nilai etika yang mendalam. Tidak seperti budaya asing yang lepas dari konsep agamis," ungkap Jamhur, usai kegiatan seminar budaya di Pondok Pesantren (Ponpes) Assulamy Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Minggu (03/08/2025).
Ia menilai, di era generasi Z (Gen Z) ini banyak budaya lokal yang nyaris punah terdampak budaya asing. Padahal keanekaragaman budaya lokal memiliki ciri khas masing-masing yang tidak jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini pula yang menjadi modal untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jika tradisi dan budaya lokal benar-benar punah, maka generasi saat ini akan kehilangan jati diri dan mudah sekali terombang ambing pengaruh asing. Karenanya dibutuhkan transformasi ilmu terhadap tradisi dan budaya ke generasi selanjutnya sehingga berkesinambungan.
Selain itu, dibutuhkan dukungan serta keterlibatan seluruh stakeholder utamanya tokoh kebudayaan untuk memberikan edukasi khusus di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran destinasi wisata. "Kalau stagnan, maka generasi muda melupakan bahkan tidak mengenal budayanya sendiri," timpal anggota dewan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Polemik Kecimol dan Binaraga
Ia juga menyoroti tradisi kecimol yang kerap dikait-kaitkan dengan penampilan tarian erotis dan mengganggu ketertiban umum. Ia mengaku sepakat apabila kecimol merupakan bagian dari tradisi Lombok, sebagai wujud euforia dari suatu acara.
Namun dengan catatan harus tetap memperhatikan unsur etika sesuai norma-norma yang berlaku. "Kecimol itu baik, tapi kalau dilakoni secara baik, tidak melanggar adat dan istiadat. Boleh berekspresi, tapi jangan sampai ada minum-minuman keras sampai ditonton banyak orang," sindirnya.
Terlebih tradisi ini kerap menjadi bahan tontonan publik tanpa ada batasan usia. Belum lagi soal olahraga binaraga yang diselenggarakan saat Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII belum lama ini yang juga menjadi buah bibir para tokoh di Pulau Lombok.
"Jangan sampai menciderai Pulau seribu Masjid. Nanti bukan malah yang baik mendunia, tapi yang nggak baik," timpalnya.
NTB saat ini mendapatkan jatah UPT Pelestarian Budaya dari pemerintah pusat. Pihaknya bersyukur, adanya unit ini para eksekutif dan legislatif di daerah tidak hanya fokus terhadap kelestarian keanekaragaman tradisi dan budaya lokal.
Unit ini juga berfungsi menyaring budaya-budaya yang kontroversial, semisal budaya kecimol, serta budaya asing yang tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Pulau Lombok. "Nanti ketika juga akan dibentuk dinasnya, tentu harus dipayungi perda yang akan dibahas oleh eksekutif dengan DPRD NTB," jelasnya.
Pewarta: Syafrin Salam.
0 Komentar