Breaking News

Opini Didin Maninggara tentang Pers dan Wartawan Era Peradaban Digital (3)

 
Wartawan Harus Cerdas dan Cerewet


Di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Sabtu, 9 Maret 2024. Seorang ibu, istri teman lama saya bertanya, "Masih wartawan, pak?" Saya jawab, masih.

"Kok, belum pensiun. Pak Didin, kan seangkatan suami saya, tapi dia sudah 10 tahun pensiun dari profesi wartawan," ucap Elya, nama panggilannya.

'Pak Trisno seusia dengan saya sama-sama usia 69 tahun, meninggalkan profesi wartawan karena hidup enak sebagai pengusaha sukses. Kalau saya jatuh bangun tetap jadi wartawan," kata saya.

Kami pun ngobrol ngalur ngidul. Saya jadi teringat, ketika bersama Trisno, suaminya Elya yang kala itu wartawan senior Koran Merdeka berbincang di Gedung Dewan Pers Jalan Kebun Sirih, Jakarta Pusat pada Juli 1998. Perbincangan dihadiri Sakata Baros, wartawan Koran Sinar Pagi, yang juga Sekjen Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI). Markas KWRI saat itu menumpang di Gedung Dewan Pers. Begitu perbincangan mau berakhir, nongol Rafaat Nurdin, wartawan senior Antara, yang juga sudah purnabakti dari dunia jurnalis.

Adapun topik perbincangan yang masih saya ingat tentang karakteristik wartawan.

Kami berbagi pikiran. Saya mengistilahkan wartawan itu cerewet dan pengecam. Sakata Barus menyebut penasihat dan pengawas. Trisno mensejajarkan wartawan dengan penguasa. Sedangkan Rafaat mengkategorikan wartawan sebagai guru bangsa.

Kenapa saya sebut wartawan itu cerewet? Karena wartawan harus bertanya. Harus menggali informasi sedalam dan sedetil mungkin tentang sebuah peristiwa atau masalah, untuk dilaporkan kepada publik.

Kaidah jurnalistik menempatkan peliputan peristiwa pasti butuh wawancara. Butuh investigasi. Untuk wawancara, wartawannya harus cerewet, tanya terus. Untuk tanya terus, harus punya wawasan dan pengetahuan memadai mengenai yang ditanya. Karena itu, wartawan harus cerdas.

Pengecam, karena wartawan umumnya orang idealis. Sebagiannya lagi wartawan asal jadi atau wartawan jadi-jadian.

Secara langsung atau tidak langsung, eksplisit ataupun implisit, wartawan mengecam ketidak beresan, pejabat korup, masyarakat yang tidak disiplin atau tidak taat aturan.

Wartawan profesional senantiasa menginginkan semua berjalan pada relnya, sesuai dengan aturan, dan tidak menyukai berbagai penyimpangan.

Wartawan juga seorang penasihat, karena wartawan menjalankan fungsi mendidik (to educate). Mendidik pembacanya biar taat asas, mengendalikan pemikiran dan sikap mereka lewat tulisan.

Tanpa harus terkesan dan terasa menggurui, dengan menyajikan sebuah informasi penting dan menarik, sebenarnya wartawan sedang menjadi penasihat bagi banyak orang atau pembaca. Ini bertolak belakang dengan wartawan jadi-jadian.

Menjadi pengawas, karena wartawan menjalankan peran sebagai pengawas kinerja pemerintah, dan perilaku masyarakat (social control). Wartawan adalah mata dan telinga pembaca/ masyarakat. Semua peristiwa penting tidak luput dari pantauan wartawan, baik penting dalam pengertian menyangkut orang penting (public figur, pejabat), maupun menyangkut kepentingan umum.

Dan tanpa kita sadari, Wartawan adalah penguasa, karena wartawan adalah pengendali arus informasi. Wartawan menentukan apa yang penting dan tidak. Menentukan apa yang mesti dipikirkan oleh publik, bahkan mampu mengarahkan, secara langsung atau tidak langsung, bagaimana publik harus menyikapi sebuah masalah. Di sini, berjalan agenda media (agenda setting).

Dan yang terakhir, Wartawan adalah guru bangsa. Seperti penasihat, wartawan mendidik pembacanya dalam berbagai hal. Pesan yang dikandung sebuah informasi yang ditulis wartawan, adalah didikan wartawan.

Tentu, semua karakter itu ada pada diri wartawan profesional. Yakni, wartawan yang menguasai betul teknik jurnalistik, paham bidang liputannya, berwawasan luas dan menaati kode etik serta mematuhi Undang-Undang Pers.

Teknik jurnalistik itulah yang sangat membedakan secara kasat mata antara wartawan profesional dengan wartawan jadi-jadian.

Teknik jurnalistik, antara lain meliputi wawasan, pengetahuan dalam berpikir komprehensif atau kontekstual, kaidah bahasa, gaya penulisan, kecepatan dan ketepatan menulis, substansi yang bersentuhan dengan pendalaman berita atau deptnews dan  investigatifnews. Unsur-unsur ini pasti dimiliki wartawan profesional.

Adapun wartawan jadi-jadian dipastikan tidak bisa menulis berita yang sangat sederhana sekalipun. Kerja mereka mencari informasi untuk memeras, mengancam atau menakut-nakuti.

Ada juga ‘wartawan kuda tunggang’, yakni wartawan yang dikendalikan oleh seseorang (pejabat misalnya) dengan bayaran ‘amplop’, serta masih banyak lagi istilah-istilah untuk wartawan beraliran sesat.

Wartawan profesional mengandung ciri-ciri lain, yakni peduli terhadap publik dan kebenaran.

Kebenaran dalam dunia jurnalistik, parameternya adalah faktual, sesuai dengan fakta, data, tidak ada yang dimanipulasi. Apalagi dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu.

Kebenaran harus dikupas secara terang benderang, apa adanya. Tapi tentu juga memenuhi unsur berimbang dan adil. Berimbang dan adil akan dikupas pada (episode 4).

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close