Mataram (postkotantb.com)- Ketua Perhimpunan Hotel Melati, Guru Mangku Gede Wenten, mengkritisi adanya klaim tingkat pemesanan kamar hotel jelang event internasional MotoGP 2025 di Sirkuit Pertamina Mandalika awal bulan Oktober mendatang mencapai 70 persen.
Menurutnya, klaim tersebut hanya sekedar asumsi sepihak tanpa terlebih dahulu mengecek kondisi rill di setiap hotel yang ada, khususnya di sekitar wilayah Kota Mataram.
"70 persen dari mana datanya, kalau seperti itu pasti semua hotel terisi. Sampai hari ini, saya kroscek teman-teman pemilik hotel melati yang lain satu pun belum ada pemesanan hotel. Itu asumsinya nggak jelas," timpal Gede Wenten, saat ditemui dikediamannya, Senin kemarin.
Gede Wenten mengungkapkan, jumlah anggota yang tergabung dalam perhimpunan tersebut sebanyak 38 anggota yang rata-rata sebagai pemilik hotel dengan fasilitas kamar sekaligus pelayanan setara hotel berbintang.
Satupun anggotanya, belum pernah mendapat pemesan yang akan menonton event berkelas dunia tersebut, dan sementara ini masih mengandalkan pemesan yang sudah berlangganan, agar bisa bertahan meski jumlahnya tidak begitu banyak.
"Kami sudah sepakat, harga kamar yang paling bagus rata-rata Rp. 500 ribu. Tidak seperti awal event ini yang harganya melambung tinggi," bebernya.
Seharusnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB melibatkan seluruh pemilik Hotel Melati jauh sebelum persiapan event tersebut untuk membantu menyediakan penginapan sambil mempromosikan destinasi pariwisata di Bumi Gora, khususnya Pulau Lombok.
Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak mampu melakukan pemerataan. Padahal keberadaan Hotel Melati sangat membantu perputaran ekonomi lokal dan patuh membayar pajak.
Kondisi ini tidak hanya terjadi saat MotoGP saja. Pada event-event bertaraf nasional, dan lokal keberpihakan Pemprov NTB terhadap pengusaha Hotel Melati sangat minim.
"Pemprov dan termasuk DPRD NTB harus kembali melakukan evaluasi. Kita ini pembayar pajak yang setia lho, jangan kita dituntut pajak saja, tapi pemerataan tidak ada. Saya ingat kembali kayak pas FORNAS VIII kemarin sama juga kondisinya seperti itu," sindirnya.
"Kalau ada event nasional atau daerah, berikan dong kesempatan hotel melati. Karena pesertanya ada dari Dompu, Bima. Kasih peluang, berapa kamar yang bisa disiapkan dan berapa kesepakatan harganya," tandasnya.
Pewarta: Syafrin Salam.
Menurutnya, klaim tersebut hanya sekedar asumsi sepihak tanpa terlebih dahulu mengecek kondisi rill di setiap hotel yang ada, khususnya di sekitar wilayah Kota Mataram.
"70 persen dari mana datanya, kalau seperti itu pasti semua hotel terisi. Sampai hari ini, saya kroscek teman-teman pemilik hotel melati yang lain satu pun belum ada pemesanan hotel. Itu asumsinya nggak jelas," timpal Gede Wenten, saat ditemui dikediamannya, Senin kemarin.
Gede Wenten mengungkapkan, jumlah anggota yang tergabung dalam perhimpunan tersebut sebanyak 38 anggota yang rata-rata sebagai pemilik hotel dengan fasilitas kamar sekaligus pelayanan setara hotel berbintang.
Satupun anggotanya, belum pernah mendapat pemesan yang akan menonton event berkelas dunia tersebut, dan sementara ini masih mengandalkan pemesan yang sudah berlangganan, agar bisa bertahan meski jumlahnya tidak begitu banyak.
"Kami sudah sepakat, harga kamar yang paling bagus rata-rata Rp. 500 ribu. Tidak seperti awal event ini yang harganya melambung tinggi," bebernya.
Seharusnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB melibatkan seluruh pemilik Hotel Melati jauh sebelum persiapan event tersebut untuk membantu menyediakan penginapan sambil mempromosikan destinasi pariwisata di Bumi Gora, khususnya Pulau Lombok.
Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak mampu melakukan pemerataan. Padahal keberadaan Hotel Melati sangat membantu perputaran ekonomi lokal dan patuh membayar pajak.
Kondisi ini tidak hanya terjadi saat MotoGP saja. Pada event-event bertaraf nasional, dan lokal keberpihakan Pemprov NTB terhadap pengusaha Hotel Melati sangat minim.
"Pemprov dan termasuk DPRD NTB harus kembali melakukan evaluasi. Kita ini pembayar pajak yang setia lho, jangan kita dituntut pajak saja, tapi pemerataan tidak ada. Saya ingat kembali kayak pas FORNAS VIII kemarin sama juga kondisinya seperti itu," sindirnya.
"Kalau ada event nasional atau daerah, berikan dong kesempatan hotel melati. Karena pesertanya ada dari Dompu, Bima. Kasih peluang, berapa kamar yang bisa disiapkan dan berapa kesepakatan harganya," tandasnya.
Pewarta: Syafrin Salam.
0 Komentar